Penyimpangan
Muslimin Kini
&Ajaran
Islam yang Haqiqi
Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
1 Maret 2013 di Masjid Baitul Futuh London, UK
أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا
بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ
عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
artinya, ‘Dan mereka yang menghubungkan yang Allah telah
memerintahkan hal itu supaya dihubungkan, dan takut kepada Tuhan mereka, dan
takut kepada hisab yang buruk;’ (Q.S. 13 / Al Rad : 22).
Ayat
tersebut di atas tidak hanya memerintahkan untuk ber-‘…yashiluuna maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau menghubungkan yang Allah telah
perintahkan hal itu supaya dihubungkan, melainkan menekankan pula harus dijaga dan dipelihara
[kelestariannya].
Sebab,
mukminin haqiqi yang telah dikaruniai nikmatnya keimanan, tak dapat
membayangkan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keridhaan Allah Swt.
Yakni,
sekali ia berhasil ber-ta’aluq billah,
dan sesuai dengan perintah-Nya pula ia mengadakan berbagai perhubungan lainnya (atau hablum minannas), maka ia pun akan memelihara kelestariannya.
Inilah
tanda kecerdasan dan keimanannya yang haqiqi terhadap perintah ‘…yashiluuna
maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau, menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya
dihubungkan.
Yakni
mereka menegakkan berbagai perhubungan yang Allah Taala telah perintahkan untuk
itu.
Menerangkan
tafsir ayat ini, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda: ‘Ada suatu kaum yang
setelah berhasil mencapai keitaatan dan kecintaan kepada Allah Taala, maka perhatian
mereka pun tertuju kepada makhluk ciptaan-Nya. Dan sesuai dengan berbagai
perintah Allah pula, mereka pun menjaga persatuan dan mendatangkan faedah.
Mereka
senantiasa berusaha untuk mencapai maqom yang istimewa dalam mentaati dan
mencintai Allah, disebabkan ‘…yakhsauna
rabbahum wa yakhaafuuna suu’al hisab…’, yakni, takutlah kepada Tuhan mereka, dan
takutlah kepada hisab-Nya yang buruk.
Yakni,
qalbu mereka memiliki ‘khashiyyat’, atau sikap takut kepada Allah Taala.
Berbagai
Lexicon [Kamus Bahasa Arab] menerangkan, bahwa kata ‘khashiyyat’ artinya takut
kehilangan sesuatu yang sangat berharga setelah memahaminya demikian banyak
keindahan dan keistimewaan di dalamnya.
Yakni,
ia sadar menjadi takut kehilangan hal tersebut bukan hanya disebabkan takut
menjadi rugi atau membahayakan dirinya, namun juga keyakinannya bahwa hal itu
adalah yang paling utama dan terutama, sehingga tak ingin kehilangan disebabkan
ia mengabaikannya.
Dan
bagi seorang mukmin haqiqi, hal tersebut tiada lain adalah Allah Swt saja.
Yakni
sebagaimana telah disebutkan, sekali seorang mukmin sejati telah berhasil ber-ta’aluq billah haqiqi, maka minatnya pun
mengarah kepada [manusia ‘sesama] makhluk ciptaan Allah.
Ia
senantiasa teringat akan ‘khashiyyat’, yakni, yakhaafuuna suu’al hisab, atau takut kepada hisab-Nya yang buruk berupa
murka Ilahi disebabkan tidak memenuhi kewajiban haququl ibad.
Inilah
yang seharusnya kaum mukminin haqiqi bersikap. Yakni, ia tak akan sanggup menanggung
murka Ilahi.
Sebab,
pada kenyataannya, bahkan orang yang tipis keimanannya pun bersikap demikian.
Akan
tetapi, kita menyaksikan mereka yang membaca Al Quran Karim dengan terjemahnya;
Seolah menunjukkan ketakwaannya; dan tak mau diazab Ilahi, namun mereka tak
memenuhi kewajiban haququl ibad.
Mereka
tak berusaha ber-‘yashiluuna maa amarallahu
bihi ayyuu shala, atau menghubungkan
yang Allah telah perintahkan hal itu supaya dihubungkan dengan
serius sebagaimana yang tampak dari kondisi kontradiktif di kalangan mayoritas
kaum Muslimin kini.
Namun,
kita pun tak dapat mengatakan bahwa 100% Kaum Ahmadi telah sungguh-sungguh
menjadi mukminin haqiqi seperti yang diprasyaratkan itu.
Saya
akan membahas hanya satu dari berbagai sifat Muslimin haqiqi sebagaimana telah
disyaratkan dengan jelas oleh Allah Taala.
Yakni,
yang salah satunya adalah: ‘…ruhamaa’u
baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang
di antara mereka’.
(Q.S. 48 / Al Fath : 30).
Yakni,
Allah Taala telah menegaskan, bahwa inilah salah satu tanda Mukminin haqiqi.
Akan
tetapi kaum Ulama dan Umara di berbagai negara Muslim telah menginjak-injak
kewajiban ini dengan mengatas-namakan Islam.
Dan
hal ini tidak hanya terjadi di salah satu negara Islam saja; melainkan
menyebar-luas di ‘hampir seluruh negara tersebut. Hanya tingkat keparahannya
saja yang berbeda-beda.
Ini
disebabkan sikap mengejar kepentingan pribadi lebih diutamakan dibandingkan
berusaha keras untuk memperoleh keridhaan Ilahi.
Tengoklah
kondisi di Pakistan. Lusinan orang tewas setiap harinya, yang jika diurut sejak
beberapa tahun terakhir, dapat mencapai ribuan orang sebagaimana yang
dilaporkan di dalam berbagai surat kabar.
Disamping
itu, setiap tahunnya ada ratusan, bahkan ribuan orang yang menjadi korban tewas
oleh berbagai peristiwa bomb bunuh diri, yang semuanya itu mengatas-namakan Allah
dan agama.
Ayat
Al Quran menyebutkan agar kaum Muslimin ber-‘…ruhamaa’u
baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang
di antara mereka’; juga ‘…asiddaa’u alal kuffari…’ atau ‘…lugas
terhadap kaum kafirin…’.
Namun
kaum Ulama berpikir dapat semaunya memfatwakan orang lain sebagai kafir lalu
memperlakukan mereka seenaknya; seolah mereka berhak melakukan apapun yang
mereka kehendaki.
Padahal,
menurut Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang memfatwakan kufur kepada pihak
lain, akan berbalik kepada diri mereka sendiri !
Pakistan
adalah negara aman dalam arti ‘tak ada perseteruan antara rakyat dengan
pemerintahnya.
Sedangkan
di negara yang di dalamnya terjadi perang seperti itu, maka beberapa kekuatan
asing pun ikut berbuat buruk, sehingga kaum Muslimin membunuhi ‘sesama kaum
Muslimin lainnya.
Contoh
lainnya adalah di Afghanistan yang terus dirundung perang melawan ‘sesama kaum
Muslimin, sehingga selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini telah menewaskan
lebih dari 50,000 jiwa, yang kebanyakan justru penduduk sipil yang tak berdosa.
Atau hanya sedikit saja pasukan asing maupun pasukan Afghani yang termasuk di
dalam jumlah korban tersebut.
Di
Syria, satu-satunya negara padamana kaum Musliminnya memerangi kaum Muslimin
mereka yang lain, menurut prakiraan perhitungan yang cermat, tak kurang dari 70,000
orang telah tewas. Sementara di
Mesir, ribuan orang telah ditewaskan atas-nama revolusi. Begitupun di Libya, yang bahkan terus menerus
terjadi saling bantai [hingga kini].
Adapun
di Iraq, sejak tahun 2003 hingga sekarang, lebih dari 600,000 orang telah
terbunuh; bahkan serangan bom bunuh dirinya pun masih terus terjadi hingga kini.
Berbagai
laporan yang masuk mengatakan, bahwa justru ada beberapa negara Muslim tertentu
yang ikut terlibat, dan diperalat oleh beberapa kekuatan dunia.
Contohnya,
sebagaimana dilaporkan pada dua hari yang lalu: Ada satu negara di Europa yang
mensuplai persenjataan ke pasukan oposisi di Syria, melalui Arab Saudi.
Padahal
di dalam pasukan oposisi tersebut ada beberapa unsur extremistnya, yang apabila
mereka mendapatkan kekuasaan, maka rakyat pun akan semakin ditindas.
Kaum
extremist itu akan menghancurkan perdamaian dunia dikarenakan kesalah-tafsiran
mereka terhadap perintah ‘…asiddaa’u alal
kuffari…’ atau ‘…lugas
terhadap kaum kafirin…’.
Sebab,
pendekatan pemahaman Islam yang benar, seharusnya adalah: Mengupayakan agar
negara-negara Muslim duduk bersama bermusyawarah mencari solusi damai, tanpa
campur tangan pihak luar.
Dan
sesungguhnya mereka dapat menempuh jalan ini.
Yakni,
seandainya kaum Alawiyah [di dalam tubuh militer] yang menindas pihak lain di Syria
itu ditangani dengan cara ini sejak awal, tentulah situasinya kini dapat
diredam.
Maka
jika terjadi Perang Dunia, niscaya dimulai di Timur [Damascus] ini, tidak lagi
di Barat sebagaimana dua Perang Dunia sebelumnya.
Berbagai
negara Muslim perlu memahami tanggung jawab ini, seandainya mereka menjalankan
perintah Allah:
yakni, ‘Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka
damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
dikasihani.’
(Q.S. 49 / Al Hujurat : 11).
Kaum
Muslimin haruslah memiliki sikap takut kepada Allah Swt, atau Taqwa. Sehingga
disebabkan saling pengertian dan ‘…ruhamaa’u
baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang
di antara mereka’ itu, mereka pun
dapat menarik keridhaan Allah Swt.
Pada
kenyataannya, di dalam ayat yang Allah Taala telah memerintahkan agar kaum
Muslimin ber-‘…ruhamaa’u baynahum…’,
atau ‘berkasih-sayang di
antara mereka’ itu, diakhiri dengan: ‘…wa adallahulladziina aamanuu wa
amilush-shaalihaati minhum-maghfirataw-wa-ajran adhiim…’,
yakni, ‘…Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan berbuat amal shalih di antara mereka, ampunan dan ganjaran yang besar.’ (Q.S. 48 / Al Fath :
30).
Adapun
situasi pembunuhan dan anarkhi di negara tersebut maupun pemberontakkannya,
sudah seperti dalam keadaan perang.
Dapat
disebut ‘dalam keadaan perang’ karena dalam usaha menancapkan otoritas mereka,
beberapa negara adikuasa bercokol di daerah tersebut dengan mengatas-namakan
untuk menjaga perdamaian regional, namun kenyataannya justru menciptakan
situasi laksana perang.
Maka
seandainya kaum Muslimin menjalankan perintah Ilahi: ‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’ itu; meskipun pertikaian sempat terjadi di antara mereka, tetapi tetap
dapat mempraktekkan perintah ‘…fa-ashlihuu bayna akhawaykum…’, atau ‘…maka damaikanlah di antara kedua
saudaramu…!
Sehingga tak diperlukan
campur tangan pihak luar. Tak pula mereka akan berani ‘datang ke negara Muslim.
Di
lain pihak, di negara Muslim yang tampak damai, kaum Musliminnya pun membunuhi
‘sesama kaum Muslim mereka.
Yakni,
jika pemerintah mereka menghukum pimpinan mereka, para pengikutnya pun mulai
memberontak dan melakukan serangkaian pembunuhan.
Islam
macam mana pula ini ?!
Kekejaman
dan kebiadaban telah memuncak di berbagai negara Muslim. Atau kaum Musliminnya terjerumus
dalam keburukan tersebut dengan mengatas-namakan Islam.
Padahal
Allah Taala telah menyatakan, bahwa ciri mukminin haqiqi adalah: Setelah berhasil
mencapai keitaatan dan kecintaan kepada Allah Taala, maka hablum-minannas mereka terhadap [manusia ‘sesama] makhluk
ciptaan-Nya pun semakin erat. Terutama lagi disebabkan ‘Innamal mu’minuna ikhwatun…!, atau ‘Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara
!’
Akan
tetapi sungguh disesalkan, semakin ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk
beramal-shalih dan berdamai, sikap kaum Muslimin justru semakin buruk. Semakin
banyak bermunculan kalangan penindas di antara mereka.
Kaum
Muslimin dianggap sumber malapetaka di berbagai negara Kristen.
Dan
dari segi rasio-populasi, lebih banyak kaum Muslimin yang menghuni rumah
penjara.
Maka
untuk memperbaiki kerusakan kondisi kaum Muslimin seperti itulah Hadhrat Imam
Mahdi a.s. datang. Akan tetapi
mereka itu berkata tak memerlukannya. Karena ajaran mereka sudah cukup.
Jika
memang demikian, mengapa kaum Ulama mereka membentuk berbagai firqah yang
berbeda-beda ?
Dan
mengapa pula mereka menjerumuskannya ke dalam jahanam saling mengoyak satu sama
lain ?
Mengapa
mereka tak memahami peringatan Ilahi: ‘…yakhsauna
rabbahum wa yakhaafuuna suu’al hisab…’, yakni, takutlah kepada Tuhan mereka, dan
takutlah kepada hisab-Nya yang buruk. Dan tidak pula mereka berusaha mengajarkan hal ini di kalangan
pengikutnya ?
Mereka
tak takut neraka Jahannam, dan terus menerus menyesatkan umat. Para pemimpin tersebut melupakan pesan
mulia Hadhrat Rasulullah Saw yang berlaku untuk sepanjang zaman.
Mereka
melupakan pesan utama yang beliau Saw wariskan bagi Ummat ini. Dengan menafi’kan pesan beliau Saw
dikarenakan tidak mengindahkannya, maka mereka itu melakukan tindak ‘Tuhini Risalah’ (atau menghina
Kerasulan beliau Saw).
Yakni,
di dalam Khutbah Jumatul Widha [di bulan Ramadhan] itu, Hadhrat Rasulullah Saw sudah
mengamanatkan sebagai berikut: ‘Sebagaimana sucinya bulan ini, sucinya tanah
ini, dan sucinya hari ini, demikian pula Allah Taala telah menjadikan
kehidupan, harta benda dan kehormatan setiap insan adalah ‘sakral.
Maka
merampas kehidupan, harta benda, dan kemuliaan mereka adalah haram dan salah. Sebab
melanggar kesucian hari, bulan dan tanah ini.
Wahai
manusia ! Sesungguhnya kalian pasti akan segera menemui Tuhan-mu, dan Dia akan
menghisab segala amal perbuatanmu.
Janganlah
menjadi kafir lagi sepeninggalku, dengan saling membunuh.
Maka
sampaikanlah segala perkataan amanatku ini ke seluruh penjuru dunia.
Boleh
jadi mereka yang belum pernah mendengar amanatku ini justru lebih banyak
memperoleh faedahnya dibandingkan kalian yang mendengarkannya kini.’
Setelah
menyampaikan Khutbah tersebut, Hadhrat Rasulullah Saw bertanya kepada para
sahabah hingga 3 kali: ‘Apakah hamba telah cukup menyampaikan amanat Ilahi ini
?’
Hadhrat
Abu Bakar r.a. menjawab: Ya, Huzur ! Tuan telah sungguh-sungguh melaksanakannya
!
Inilah
amanat mulia Hadhrat Rasulullah Saw, namun kaum Muslimin di dunia kini
melakukan sesuatu yang lain.
Apakah
mereka tidak merasa bersalah bahwa mereka telah menistakan Hadhrat Rasulullah
Saw disebabkan bukan hanya tidak menjalankan perintah beliau saja, melainkan
juga menginjak-injaknya ?
Padahal,
Hadhrat Rasulullah Saw pun bersabda, bahwa seorang Muslim adalah yang
[perbuatan] tangan dan lidahnya menyelamatkan ‘sesama kaum Muslimin lainnya.
Apakah
kaum Muslimin sekarang ini sesuai dengan ajaran tersebut ?
Mereka
mengenyahkan kaum Ahmadi dari Islam.
Padahal
kami berikrar Kalimah Syahadat dan abdi Hadhrat Rasulullah Saw yang ikhlas hati.
Namun
betapa banyaknya penganiayaan yang
mereka timpakan kepada kaum Ahmadi dibandingkan kepada kaum yang lain !
Lusinan
orang dari suatu firqah telah dibunuh di Quetta [Pakistan] hingga 2 kali oleh
pihak yang tidak menyukai mereka.
Kaum
Syiah kini menjadi sasaran Undang-undang Ordonansi yang semula menyerukan agar
setiap orang anti-Ahmadi itu.
Sehingga
penganiayaan ini akan dilakukan lagi oleh satu firqah terhadap setiap firqah
yang lain.
Saya
mengatakan ‘lagi-lagi’ karena begitulah yang senantiasa terjadi.
Yakni,
hanya untuk anti-Ahmadi saja mereka bersatu.
Namun,
sekali mereka ‘menikmati' pembunuhan itu dan menjadi bergairah, maka berbagai
larangan pun mereka langgar. Begitulah persisnya sebagaimana yang terjadi.
Padahal,
Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. telah menjelaskan, bahwa Hadith [yang mengatakan]:
Seorang Muslim adalah yang [perbuatan] tangan dan lidahnya menyelamatkan
‘sesama kaum Muslimin lainnya’, bukanlah hanya ditujukan bagi kaum Muslimin
saja.
Melainkan,
hal ini berarti pula: Setiap insan yang cinta damai pun harus selamat dari
[perbuatan] tangan dan lidah seorang Muslim.
Inilah
pemahaman berdasarkan jiwa Taqwa terhadap Hadith tersebut, yang tidak dimiliki
oleh kaum Ulama sekarang.
Yakni,
sebelum mereka dapat mengikis-habis sikap mementingkan diri sendiri, kemudian
menumbuh-kembangkan sikap pengorbanan, maka apapun penampilan jubbah penampilan
pakaian mereka, tetap tak dapat disebut sebagai mukminin haqiqi.
Belum
lama ini ada seorang Maulwi yang berkata dalam suatu pernyataan, bahwa kaum Ahmadi
adalah kanker. Padahal
sesungguhnya Kaum Ahmadi bukanlah kanker ! Melainkan justru berperan penting
dalam menyiarkan ajaran Islam yang haqiqi ke seluruh dunia, sehingga
menyediakan penyembuh bagi [krisis] kemanusiaan.
Maka
ada yang bertanya: Mengapa ada perbedaan antara Islam kita dengan Islamnya kaum
Muslimin lain ?
Kita
menjawab: Ini dikarenakan ajaran Islam kami yang sesuai sebagaimana yang
diajarkan oleh Hadhrat Rasulullah Saw dan Al Quran Karim. Sedangkan Islam-nya
kaum Maulwi adalah bikinan mereka sendiri.
Semoga
Allah Taala membukakan mata dan hati Ummat Islam, serta mengabari mereka
mengenai Islam yang haqiqi ini, yang tengah disyiar-luaskan ke seluruh dunia
melalui seorang pecinta dan hamba Hadhrat Rasulullah Saw yang sejati.
Meskipun
kita tak dapat menjamin 100% bahwa kita semua telah memenuhi persyaratan
[sebagai seorang Muslim haqiqi] seperti dinyatakan di dalam kedua ayat Al Quran
(ialah, Q.S 13 / Al Rad : 22; dan Surah 49 / Al Hujurat : 11) tersebut.
Maka
setiap insan hendaknya mawas diri dan memeriksa dirinya masing-masing.
Jangan
berilusi tentang diri sendiri.
Meskipun
semoga saja berbagai kekhilafan kita dalam ukuran kecil, namun dapat menjurus
ke kerusakan yang lebih besar.
Kita
ini adalah yang paling mendambakan untuk memperoleh maghfirah Ilahi bagi diri
sendiri, tapi tak tahu bagaimana harus memaafkan orang lain
Yakni,
seandainya kita peduli terhadap orang lain dengan penuh kesabaran, tentulah berbagai
perkara yang masuk ke Dewan Qadha dapat diselesaikan.
Allah
Taala menyatakan di dalam Al Quran Karim: ‘…wal
ya’fuu wal yashfahuu. Alaa tuhibbuuna ayyaghfirallahu lakum ? Wallahu
ghafuururrahiim’.
yakni, ‘…Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang-dada. Tidakkah
kamu suka agar Allah mengampuni kamu ? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’ (Q.S. 24 / Al Nur :
23).
Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai ayat ini, sebagai berikut: ‘Maafkanlah
dosa-dosa orang lain. Maafkan pula berbagai keaniayaan dan kedegilan mereka.
Apakah
engkau tak hendak Allah Taala pun mengampuni dosa-dosamu ?
Wallahu ghafuururrahiim’., dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.’
Tak ’ada seorangpun yang tak ingin mendapat
maghfirah Ilahi.
Dan
insan yang beriman kepada Allah itulah yang paling mendambakan agar
dosa-dosanya diampuni.
Dan
Allah Taala menyatakan, bahwa jika hal ini yang engkau inginkan, terapkanlah
sikap ghafur, memaafkan dan
tumbuh-kembangkanlah sikap simpati dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya,
berikut ini adalah berbagai Hadith yang mengingatkan lebih lanjut mengenai
pentingnya topic bahasan [ber-‘…yashiluuna
maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya
dihubungkan] ini.
(1)
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa
Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang menginginkan
rezekinya lapang, umurnya panjang, dan handai-taulannya senantiasa berbicara
baik tentang dirinya, peliharalah tali hubungan silaturahmi.’
(2)
Amr bin Shuaib meriwayatkan berdasarkan penuturan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak
menyayangi yang muda dan tidak juga memuliakan yang tua, bukanlah dari umatku.’
(3)
Abdullah bin Masood meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Segala
makhluk adalah keluarga besar Allah Taala; dan Allah sangat mencintai mereka
yang memelihara dan memenuhi keperluan keluarganya dengan baik.'
(4)
Abdullah bin Amr meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah Al
Rahman akan mengasihani mereka yang bersifat pengasih. Maka berpengasihlah engkau
di muka bumi, maka Allah Taala di langit pun akan mengasihimu.’
(5) Hadhrat Jabir r.a. meriwayatkan,
bahwa
Hadhrat
Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah akan senantiasa akan melindungi dan mengasihi
serta mengaruniai ‘surga al-Jannah-Nya bagi mereka yang memiliki 3 (tiga)
sifat, ialah: Bersimpati kepada yang lemah. Mencintai ibu-bapaknya. Dan
memperlakukan pembantunya dengan baik.’
(6) Hadhrat ‘Aishah r.ha. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah
Saw bersabda: ‘Allah Taala
itu bersifat halus; dan Dia memberi pahala bagi mereka yang bersifat halus.
Tidak kepada mereka yang kasar; dan Allah tidak memberi pahala bagi sifat
lainnya sebagaimana kepada sifat halus ini.’
(7) Hadhrat ‘Aishah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah
Saw bersabda: ‘Manakala kehalusan ditambahkan kepada sesuatu, maka akan
mempereloknya. Dan jika dihilangkan, akan memperburuknya.’
(8)
Ibnu Masood meriwayatkan, bahwa
Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Maukah aku sampaikan tentang
mereka yang akan dijauhkan dari api Jahannam ?
Ialah
bagi mereka yang menjaga hablum minannas,
yang bersifat pemurah, dan baik budi pekertinya.’
Maka
dengan ini saya mohon perhatian khas segenap anggota Pengurus Jama’at agar
mereka pun memiliki berbagai sifat akhlak fadillah dan simpati sedemikian rupa
[sebagaimana yang dinasehatkan di dalam berbagai Hadith tersebut], utamanya
lagi para anggota Pengurus Pusat.
Malah,
harus menjadi sifat baik setiap orang Ahmadi. Tetapi khususnya para anggota
Pengurus Jama’at hendaknya jangan pernah merasa jemu atau jengkel melayani
mereka yang suka banyak mengusulkan sesuatu, atau ‘datang ke kantor, atau
menghubungi kantor.
Melainkan
terimalah mereka dengan lapang dada.
Hendaklah
senantiasa diingat, bahwa jangan ada seorang pun pengkhidmat Jama’at yang tidak
ramah dan tak simpatik apapun situasinya.
Jangan
terpengaruh oleh situasi apapun, yang menimbulkan citra tidak ramah, meskipun
hanya samar-samar.
Melainkan,
berusahalah untuk bersikap mau membantu, dan berbicaralah dengan sehalus
mungkin.’
Selanjutnya,
(9) Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda:
‘Harta benda tak akan menjadi berkurang disebabkan banyak bersedekah. Allah
Taala akan memuliakan mereka yang memaafkan orang lain. Dan tak akan menjadi rendah
derajat mereka yang memaafkan kesalahan orang lain.’
(10)
Hadhrat Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Janganlah
saling membenci, saling mengumpat, ataupun saling meniadakan. Melainkan,
jalanilah hidup sebagai abdi Allah yang haqiqi. Adalah haram bagi seorang Muslim
yang tak mau berbicara dengan saudaranya lebih dari tiga hari, dan memutuskan
tali silaturakhmi dengannya.’
(11)
Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda:
‘Janganlah saling mendendam; jangan menaikkan harga sedemikian rupa hingga
merugikan orang lain, jangan saling berkhianat, dan jangan saling menggunting.’
Melainkan,
jadilah para hamba Allah haqiqi dan berikhwan satu sama lain.’
Seorang
Muslim tidak akan menindas ‘sesama saudaranya, tidak mendendam, tidak
merendahkan atau menghinanya.’
Kemudian sambil menunjuk dada, Hadhrat Rasulullah Saw bersabda hingga tiga
kali: ‘Taqwa ada di dalam [qalbu] ini.’
Adalah
sudah cukup menunjukkan keburukan orang yang memandang sebelah mata ‘sesama
saudara Muslimnya.
Kehidupan,
harta benda dan kehormatan setiap orang Muslim
adalah sakral’ bagi setiap Muslim lainnya.’
(12)
Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda:
‘Allah Swt akan berseru pada Hari Kebangkitan: ‘Mana itu mereka yang saling
mengasihi semata-mata demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku !
Sekarang
ini tak ‘ada peneduh selain dari Peneduh-Ku. Aku akan memberikan Pelindung dari
rahimiyyat Peneduh-Ku.’
Semoga
kita dapat meningkatkan silih-asih dan sabar satu sama lain dan dapat menjadi
Jamaah sebagaimana yang dikehendaki oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sesuai yang
disabdakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.
Dan
semoga pula Jamaat Ahmadiyah dapat menjadi penjamin perdamaian dunia. Semoga kaum Muslimin dapat menerima Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. dan memahami pentingnya silih-asih. Semoga para pemimpin kaum Muslimin dapat menghentikan
penindasan mereka terhadap rakyat dan berbuat adil terhadap mereka, alih-alih
diperalat oleh tangan-tangan mereka yang mementingkan diri sendiri, sebagaimana
yang dirasakan oleh rakyat mereka.
Semoga
Allah Taala segera menghilangkan dunia pada umumnya, dan kaum Muslimin pada
khususnya dari cengkeraman kaum extremist di beberapa negara Muslim yang
mengerikan; sehingga kita semua dapat menyebar-luaskan keindahan ajaran Islam ke
seluruh dunia dengan sebaik-baiknya dan dengan kemampuan yang lebih besar.
Semoga
Allah Taala memberi taufik kepada kita untuk itu.
Selanjutnya
saya umumkan akan mengimami salat jenazah ghaib untuk [nyonya] Nasirah Salimah
Raza di Jamaat Zion, USA yang telah meninggal dunia pada tanggal 18 Februari
2013 yang lalu.
Almarhumah
adalah African-American Ahmadi yang lahir pada tahun 1927 di tengah-tengah
keluarga Pendeta Kristen Baptist, tetapi tidak meminati ajaran Kristen.
Maka
kemudian beliau menerima Islam Ahmadiyah pada tahun 1949, lalu menikah dengan tuan
Nasir Ali Raza pada tahun 1951.
Almarhumah
yang lama berkhidmat kepada Jama’at, dan menjadi Sadr Lajnah Wilayah beberapa
kali ini rajin bertabligh, membagikan brosur dan juga buku-buku serta Al Quran
Karim ke berbagai Perpustakaan, sehingga hasilnya ada lebih dari 50 (lima
puluh) orang yang menerima kebenaran Islam Ahmadiyah.
Wanita
periang ini sangat disukai dan sering dikunjungi kaum wanita yang menganggapnya
sebagai ibu mereka sendiri.
Almarhumah
sangat mencintai Islam. Membimbing para pemudi mengenai pentingnya ber-Pardah dan
tarbiyat ajaran Islam lainnya, serta bagaimana cara bersikap terhadap adat
kebiasaan masyarakat Barat yang buruk.
Beliau
rajin ber-Tabligh kepada ibunda selama bertahun-tahun hingga baiat menerima
Islam Ahmadiyah pada usia 85 tahun yang sangat membahagiakannya.
Almarhumah
Nasirah Salimah yang adalah pengkhidmat efisien dan sangat cinta Khilafat serta
Jama’at ini sempat bermulaqat dengan saya [di USA] pada tahun lalu.
Semoga
Allah Taala mengangkat derajat maqom almarhumah yang meninggalkan 9 orang anak
dan 21 cucu ini ke dalam ‘surga al-Jannah-Nya.
Dan
semoga pula mereka tetap dalam keshalihan dan menjadi penerima doa-doa
almarhumah. Amin !
oooOOOooo
MA/LA/20130307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar