Hadhrat
Muslih Mau’ud r.a.
Sang
Putra Yang Dijanjikan:
Khutbah
Jumah Beliau Mengenai Yaqin Kepada Allah dan Doa-doa
Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
22 February 2013 di Masjid Baitul Futuh, London
أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا
بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ
عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Terbersit di dalam pikiran saya, untuk
menyampaikan Khutbah pada hari ini mengenai nubuatan tentang Muslih Mau’ud.
Dan
saya pun merasa, sebagaimana biasa, kita menyajikan nubuatan tersebut dan
berbagai macam keberhasilan beliau r.a..
Banyak
ragam ilmu, pengetahuan intellect dan hikmah karunia Allah Taala kepada Hadhrat
Muslih Mau’ud yang dapat kita saksikan di dalam berbagai Pidato, Dars dan
Khutbah beliau r.a., bahkan sebelum beliau memangku jabatan Khilafat.
Berbagai
macam penjelasan beliau sarat dengan ilmu rohani.
23
Jilid berbagai Pidato beliau telah diterbitkan dengan judul ‘Anwarul Ulum’ yang
tiap jilidnya terdiri dari 600 halaman. Dan serial Jilid berikutnya masih terus
diterbitkan.
Begitu
pula berbagai Khutbah Jumah beliau telah diterbitkan dalam 24 Jilid meskipun
baru mencapai hingga periode tahun 1943. Dan masih terus diterbitkan.
Tiap
Jilidnya itu pun terdiri dari 600 halaman lebih.
Yayasan
Fazli Umar telah dibentuk untuk mengumpulkan semua karya beliau tersebut.
Yakni, mereka ini pun menterjemahkan Pidato, Karangan bebas beliau, dlsb; yang
sangat boleh jadi, juga dalam Bahasa Inggris, dan berbagai Bahasa lainnya,
terutama dalam Bahasa Arab.
Para
mahasiswa berbagai Jamiah Ahmadiyah menterjemahkan sebagian dari karya beliau
r.a. tersebut ketika mereka menyusun Thesis setelah lulus tingkat Syahid.
Walhasil,
Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. telah mewariskan kepada kita suatu Khazanah besar
dari kehidupan beliau, utamanya karya selama 52 tahun memangku jabatan Khilafat.
Mereka
yang sudah membeli beberapa Jilid karya beliau tersebut boleh jadi belum sempat
membacanya dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Sementara kaum Ahmadi baru ataupun
generasi muda keturunan tak dapat membaca karya aslinya dalam Bahasa Urdu.
Sehingga mereka pun tak dapat menangkap gaya bahasa beliau r.a..
Bahkan
mereka yang seumur atau lebih tua dari saya dan Ahmadi keturunan belum tentu pula
dapat mendalaminya.
Yakni,
kita baru dapat menghargai sepenuhnya keluasan ilmu beliau dan Karunia khas
Ilahi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya, jika kita sungguh-sungguh
telah membaca berbagai karya tulis beliau tersebut.
Di
zaman Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. itu belum ada fasilitas audio-video. Hanya pada
beberapa tahun terakhirnya saja (1964-65) beberapa rekaman sempat dilakukan.
Namun,
seiring dengan berlalunya waktu, kwalitas rekaman tersebut pun berkurang,
sehingga tak lagi menangkap nuansa kharismatik rohaniahnya.
Maka
syukur alhamdulillah, berkat pengarsipan berbagai karya tulis, dan juga
berbagai Pidato beliau itu, dapat diperoleh ‘sedemikian banyak’.
Maksud
‘sedemikian banyak’ di sini, karena pada waktu itu, proses transkripsi tersebut
dilakukan dengan tulisan tangan. Sehingga boleh jadi ada beberapa perkara yang
tak sempat tertuliskan.
Dan
pada hari ini saya memutuskan akan menyampaikan Khutbah yang utamanya mengutip
perkataan Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. mengenai ‘Kiat Berdoa dan yaqin kepada
Allah Taala, Pemilik segala kekuatan’.
Saya
memilihkan Khutbah Jumah beliau ini karena jika kita ingin memperoleh berbagai
hasil [doa] yang istimewa, maka kita perlu mendalami topic bahasan Khutbah ini,
kemudian mempraktekkannya:
‘Aku
terus menerus diingatkan oleh beberapa sahabi agar berdoa. Dan juga menerima
beberapa notes dan surat dari beberapa sahabi lainnya yang menyarankan agar ada
segolongan Jama’at ini yang [khusus] berdoa untuk melenyapkan berbagai
kemudharatan yang tengah terjadi di dunia.
Namun,
[menurut pendapatku], doa dari suatu golongan saja tidaklah cukup.
Sebab,
yang diperlukan adalah adanya perobahan di dalam pola-pikir kaum pria, kaum
wanita, dan juga anak-anak mengenai kiat berdoa.
Perobahan
pertama dan utama pola-pikir tersebut adalah tertanamnya keyakinan makbuliyat
doa.
Sebab,
doa orang yang tak yaqin tak akan makbul.
Boleh
jadi adakalanya doa orang yang seperti itu terkabulkan juga. Akan tetapi hal
tersebut hanya sebagai rahmaniyyat Ilahi agar timbul keyaqinan di dalam qalbu
manusia.
Sebab,
kaidah yang benar agar doa menjadi makbul adalah yaqin kepada Allah Taala,
bahwa Dia akan mendengarnya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam Al Qur’an Karim: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza
da’aahu…….’
yakni, ‘Atau, siapakah yang mengabulkan doa orang yang sengsara
apabila ia berdoa kepada-Nya..…’ (QS. 27 / Al Naml : 63).
Dan
Allah telah menyatakan, bahwa hanya Dia sajalah yang mendengar.
Kata
‘mudzhthar’
(atau orang yang merana sengsara) di dalam Bahasa Arab berkonotasi
kepada orang yang tertekan dari empat penjuru ‘angin hingga terdorong ke suatu
arah.
Atau,
ia berjalan ke suatu arah setelah mendapatkan kebuntuan di empat jurusan itu.
Yakni,
ia melihat jahanam di sekelilingnya. Ketika ia melihat ke kanan, ada ‘naraka’
di sana. Melihat ke kiri, api-lah di situ. Melihat ke belakang, jahanam tengah
mengancam. Melihat ke bawah, api menggelegak. Dan ketika melihat ke atas pun
api membumbung.
Hanya
ada satu arah yang tersisa, yakni Allah Taala saja. Dan ia dapat menangkap
celah ini. Sedangkan ke ‘arah lainnya hanya api di atas api.
Ia
melihat hanya ada satu arah yang dapat menenteramkannya.
Maka
tuan-tuan dapat memahami pentingnya keyaqinan dalam kaitan dengan istilah ‘mudzhthar’
ini.
Yakni,
‘mudzhthar’
(atau orang yang menderita kesengsaraan) tidaklah sesederhana mereka yang
hatinya sedang gelisah. Sebab, mereka ini dapat saja melangkah ke satu jurusan
yang tidak menjaminnya akan memberi ketenteraman. Malah, menyediakan marabahaya
yang tak terhindarkan
Jadi,
hanya kegelisahan hati tak berkonotasi kepada kondisi yang sengsara.
Keadaan
‘mudzhthar’
hanya merujuk kepada orang yang tak dapat lagi melihat adanya najat keselamatan di empat jurusan,
melainkan hanya di satu tempat saja.
Yakni,
tidak hanya melihat api di empat jurusan, melainkan juga mengindikasikan, bahwa
ia melihat adanya ketenteraman di suatu tempat yang dijamin tak ‘ada api di
dalamnya.
Doa-doa
yang dipanjatkan dalam kondisi ‘mudzhthar’ seperti itulah yang
mendapat kemakbulan dari Allah Taala.
Yakni,
ia yaqin sepenuhnya, tak ‘ada najat
keselamatan selain dengan Allah Taala.
Hadhrat
Rasulullah Saw menggambarkan keadaan ‘mudzhthar’ ini dengan perkataan
[doa] beliau seperti ini: [Innal fadzul illaa
manja’a wa laa manjaha minka illa ilaik], yakni, ‘O Allah, tak ‘ada lagi
tempat berlindung dari azab dan cobaan-Mu selain dengan cara menjauhi semua cara
lain, kemudian berta’aluq sepenuhnya ke dalam Perlindungan Engkau.’
Inilah
kondisi ‘mudzhthar’ sebagaimana yang Allah Taala nyatakan di dalam Al
Qur’an Karim: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza da’aahu…….’.
Jadi, kata ‘mudzhthar’
di sini menekankan kepada doa orang yang tidak merujuk maupun menyeru
siapapun selain kepada Allah Swt sebagai Pelindungnya. Inilah yang diindikasikan oleh ayat Al Quran tersebut
mengenai kondisi ‘mudzhthar’ itu.’
[Hadhrat
Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan lebih lanjut, bahwa]: ‘Namun, meskipun hanya Allah
Taala saja yang dapat menghilangkan kenestapaan, tetapi insan pun dapat
menolong sesamanya sesuai dengan kemampuan yang Dia telah karuniakan.
Orang
yang berpunya dapat membantu orang yang sedang membutuhkan. Pendek kata, banyak
cara untuk menolong ‘sesama yang sedang kesusahan.
Banyak
kalangan yang dapat menolong orang yang dirundung berbagai kesengsaraan.
Tetapi
Allah Taala menyatakan: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza da’aahu…….’;
yakni, ‘Atau, siapakah yang mengabulkan doa
orang yang sengsara apabila ia berdoa kepada-Nya..…’.
Maksudnya, ‘mudzhthar’ (atau orang
yang merana) di sini tidak harus bersyarat sengsara segala-galanya. Melainkan,
boleh jadi menderita terkena bencana kelaparan, kekurangan sandang, kekurangan
suplai air bersih (PAM) ataupun kekurangan tenaga untuk mengangkut beban.
Yakni,
apapun bentuk penderitaannya, Wujud yang dapat memenuhi segala kebutuhannya itu
hanyalah Allah Swt saja.’
Pendek
kata, ada ribuan jenis kebutuhan manusia yang bahkan seorang Raja pun tak dapat
menolongnya.
Contohnya:
Jika ia sedang berjalan di hutan tiba-tiba dihadang seekor binatang buas,
apakah seorang Raja yang berkuasa dapat menyelamatkannya seketika ? Bahkan
meskipun orang itu anak seorang Raja ? Maka
pada situasi seperti itu hanya Allah Taala sajalah yang dapat memberikan
pertolongan.
Jadi,
sebelum orang itu yaqin sepenuhnya bahwa Allah Taala dapat menolong pada situasi
apapun, ia tak dapat disebut sebagai ‘mudzhthar’.
[Huzur
Atba menambahkan: ‘Khutbah Jumah beliau r.a. ini disampaikan ketika Inggris
masih berkuasa di Hindustan.
Hadhrat
Muslih Mau’ud r.a. melanjutkan]: ‘Pemerintah Inggris pun tak sanggup merubah
orang yang pengecut di Hindustan yang dibawah kekuasaannya, menjadi para
pemberani.
Sehingga
mereka pun tak direkrut dalam ketentaraan.
Sedangkan
di antara mereka yang berhasil membina ta’aluq
billah haqiqi dengan Allah Taala, yang tadinya sangat pengecut dapat menjadi
gagah berani.
Suatu
bangsa yang semula kacau-balau, dapat menjadi bangsa yang tertib.
Manakala
Allah Taala telah mengaruniai kemajuan kepada suatu kaum, maka nasib mereka pun
berubah. Qalbu mereka berubah, dan mereka pun menjadi suatu Kaum yang kuat,
yang mencengangkan dunia.
Begitulah
situasi yang terjadi di Arabia yang tak memiliki system administrasi
pemerintahan yang layak. Melainkan hanya
terdiri dari berbagai kelompok Kesukuan yang berseteru. Tak ‘ada persatuan. Tak
‘ada kekuatan.
Dan
Hadhrat Rasulullah Saw bangkit dari antara bangsa yang seperti itu. Dan hanya
sedikit saja orang yang mau menerima pendakwaan beliau.
Boleh
jadi hanya sekitar seratus orang saja yang menerima kebenaran beliau Saw selama
periode kehidupan di Mekkah itu.
Kaum
Mekkah dipandang rendah dari segi duniawi [oleh bangsa lain], dan mereka yang
menjadi Muslim, lebih dihinakan lagi oleh ‘sesama kaum Mekkah lainnya.
Akan
tetapi betapa Allah Taala kemudian merubah mereka menjadi suatu Kaum yang
pemberani dan berdisiplin !
Padahal,
bangsa Arab di Mekkah itu tidak suka mendengar ataupun itaat kepada seruan
orang lain.
[Huzur
Atba menambahkan: ‘Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. kemudian menyampaikan suatu kisah
yang panjang untuk menggambarkan inqillabi
haqiqi yang terjadi di antara Kaum Mekkah tersebut berdasarkan Hadith yang
diriwayatkan oleh salah seorang Sahabah Hadhrat Rasulullah Saw, yang
ringkasannya sebagai berikut]:
(1)
‘Hadhrat Abdullah bin Mas’ud r.a. sedang berjalan kaki untuk mendengarkan
Khutbah Hadhrat Rasulullah Saw di masjid. Tiba-tiba mendengar suara beliau Saw
yang menyerukan agar jamaah segera duduk.
Maka
seketika itu pula Abdullah bin Mas’ud duduk. Kemudian melanjutkan langkahnya ke
dalam masjid dengan cara beringsut-ingsut sambil duduk.
Maka
seorang sahabah lainnya bertanya: ‘Mengapa begitu ?!’
Beliau
r.a. menjawab: ‘Aku mendengar seruan Hadhrat Rasulullah Saw agar seluruh jamaah
duduk. Dan aku pun ber-sami’na wa atha’na.
Aku tak mau mengambil resiko pada akhir hayatku, bahwa aku tak taat kepada Hadhrat
Rasulullah Saw !’.
(2)
Sedangkan di pihak lain, Kaum Madinah itu dikenal tak suka berkelahi karena
mereka adalah masyarakat petani, suatu pekerjaan yang dianggap rendah oleh
kebanyakan Bangsa Arab lainnya. Sehingga untuk diajak berkelahi pun mereka
dianggap tak layak.
Akan
tetapi, setelah mereka bergabung dengan Hadhrat
Rasulullah Saw, terjadilah suatu inqillabi
haqiqi yang akbari pada kaum Madinah
tersebut.
Sedemikian
hebatnya revolusi rohani mereka itu, sehingga pada Perang Badar, terhadap penyerangan
pasukan besar dan terlatih kaum Makkah, lasykar Madinah yang jauh lebih kecil
dan bersenjatakan seadanya, dapat memperlihatkan keberanian mereka yang luar
biasa.
Hadhrat
Abdur Rahman bin Auf r.a. [muhajirin Mekkah], seorang perwira perang yang
tangguh menyatakan: ‘Seorang perwira yang mahir hanya dapat bertempur dengan
baik apabila ia dikelilingi oleh sejumlah lasykar perang yang juga dapat
melindunginya.
Inilah
mengapa sebabnya perwira unggulan selalu ditempatkan di tengah-tengah lasykar
perangnya agar senantiasa terlindung.
Pada
Perang Badar itu, ketika aku melihat ke sekelilingku, hanya ada dua pemuda
remaja berusia sekitar 15 tahunan dari Kaum Ansar [Madinah], yang dapat
bergabung atas perkenan Hadhrat Rasulullah Saw setelah mereka bersikeras untuk itu.
Maka
hatiku pun menjadi kecut demi melihat mereka yang adalah berasal dari Kaum Madinah,
yang sudah barang tentu tak pandai bertempur.
Namun
seketika itu pula pinggang kananku terasa disodok. Salah seorang pemuda belia
itu bertanya sambil berbisik ke telingaku: ‘Mana itu Abu Jahal yang sudah
sekian lama menganiaya Hadhrat Rasulullah Saw ? Agar aku dapat membalasnya !’
Belum
lagi aku menjawab, pinggang kiriku yang kemudian terasa ada yang menyodok.
Pemuda remaja lainnya bertanya hal yang sama, bahwa ia pun akan membalasnya.
Maka
akupun menunjukkan posisi Abu Jahal yang tentu saja berada di tengah-tengah
pasukannya yang tangguh, ditambah lagi dengan 2 (dua) orang jendralnya yang
bengis mengawal dengan pedang terhunus.
Namun,
belum lagi aku menurunkan tanganku, dua orang pemuda itu sudah melesat cepat ke
sasaran, bak burung elang menyambar mangsanya dan berhasil melukai Abu Jahal.
Bahkan
meskipun salah seorang pemuda itu terputus tangannya ditebas pedang musuh,
namun keduanya berhasil menjatuhkan Abu Jahal ke tanah dan mendapat luka parah
!
Begitulah,
dua pemuda belia dari suatu Kaum yang sebelumnya dianggap tak layak untuk
diajak berkelahi, telah berhasil melaksanakan tugas yang luar biasa. Yakni, mereka berhasil melukai sedemikian
rupa seorang jendral perang yang dzalim seperti Abu Jahal; yang kemudian tewas
terhina oleh dua orang pemuda yang tak berpengalaman.
Maka
diyakini, bahwa keberadaan daya quwat
qudsiyah Hadhrat Rasulullah Saw-lah yang telah berhasil membuat Kaum Madinah
menjadi pemberani dan tangguh bertempur.
(3)
Episode kisah lainnya menyiratkan sikap bangga yang salah di kalangan Bangsa Arab
pada waktu itu ketika seorang pria yang bermaksud menikahi seorang wanita lalu
memohon izin ayahnya untuk melihatnya terlebih dahulu.
Namun
si ayah wanita itu menolak.
Maka
pria itu pun menghadap kepada Hadhrat Rasulullah Saw untuk menceritakan perkaranya.
Hadhrat
Rasulullah Saw bersabda, bahwa sang ayah wanita tersebut telah berbuat keliru.
Sebab, diperbolehkan untuk melihat terlebih dahulu wanita yang akan dinikahi.
Maka
pria itu pun kembali menghadap kepada sang ayah wanita itu untuk menyampaikan
sabda Rasulullah Saw.
Namun
ia tak mempedulikannya disebabkan sikap bangganya yang salah. Ia tetap menolak
pria itu untuk melihat anak perempuannya.
Maka
sang wanita yang mendengarkan seluruh perkara tersebut segera keluar dari kamarnya dengan wajah yang
tak-bercadar, kemudian mengingatkan ayahnya mengapa harus menolak sabda Hadhrat
Rasulullah Saw yang membolehkan seorang pria untuk melihat terlebih dahulu
wanita yang akan dinikahinya ?
Kemudian
wanita itupun memberitahu pria itu, bahwa dirinyalah yang ia ingin lihat.
Maka
pria itu menjawab: ‘Aku tidak sekedar ingin melihat-lihat. Melainkan,
pertimbanganku kini adalah telah menyaksikan seorang wanita yang itaat kepada Allah
dan Rasul-Nya !’
Begitulah,
betapa Allah Taala telah merubah qalbu Kaum Arab sehingga kemudian segala
urusan bagi mereka adalah demi untuk memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
Tak
‘ada pemerintahan duniawi yang mampu merubah qalbu. Melainkan hanya Allah Swt
saja.
Para
pengecut menjadi pemberani atas perintah Allah. Begitupun para pemberani
menjadi kecut atas perintah-Nya.
Para
nestapa menjadi para pemberi atas perintah Allah. Dan yang berpunya menjadi
papa atas perintah-Nya juga.
Mereka
yang awam menjadi berpengetahuan atas kehendak Allah Taala. Dan mereka yang
ulama menjadi awam atas perintah Allah Swt.
Jika
Allah sudah ingin membinasakan suatu bangsa, kaum ulama mereka menjadi awam;
yang pemberani menjadi pengecut; yang berpunya menjadi papa; dan yang berkuasa
menjadi lemah.
Akan
tetapi sebaliknya, jika Allah Taala sudah berkehendak untuk membangkitkan suatu
kaum, maka mereka yang awam menjadi berilmu; yang papa menjadi pemberi; dan
yang dungu menjadi bijak-bestari.
Banyak
contoh mengenai hal ini yang dapat kita saksikan dalam kehidupan; termasuk juga
di kalangan Kaum Ahmadi.
Seorang
awam menjadi Ahmadi dengan ikhlas hati. Maka setelah ia menjadi orang Ahmadi
yang haqiqi, dalil-dalilnya pun menjadi ampuh, sehingga beberapa Maulwi besar pun
menjadi gentar bersoal-jawab dengannya, dan berusaha menghindar.
Kita
pun menyaksikan beberapa orang ulama yang masuk Jama’at tampak awam ilmu
agamanya sebagaimana sebelum ia menjadi orang Ahmadi disebabkan tidak
sepenuhnya ikhlas terhadap Ahmadiyah.
Hal
ini menunjukkan, bahwa ilmu kita bukanlah karena kemampuan pribadi, melainkan
karunia Allah Taala.
Keberanian
kita bukanlah pribadi, melainkan pemberian Allah Taala. Pengorbanan kita
bukanlah kemampuan pribadi, melainkan Allah Swt-lah yang memberi taufik untuk
itu.
Jika
bukan Allah Taala yang mengaruniai ilmu; jika bukan Allah Taala yang
mengaruniai keberanian itu, maka ta’aluq
billah berkat keikhlasan sempurna macam mana lagi yang diperoleh ?
Boleh
jadi berkat kebiasaan, kerja keras dan ikhtiar masing-masing pribadi.
Yakni,
kita menyaksikan, meskipun orang-orang duniawi awam, namun mereka memiliki
keikhlasan di hatinya.’
[Menjelaskan
hal ini, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. menyampaikan]:
(1)
‘Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mempunyai seorang pembantu yang bernama Peera, yang
tak terlalu cerdas.
Orang
tuanya menyerahkannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang telah memberikan
pengobatan.
Ketika
sudah sembuh, ia biasa hanya duduk-duduk di ruang tamu. Atau sekali-kali
belanja dan menyampaikan pesan.
Tetapi
ia tidak Salat.
Maka
Hadhrat Maulana Nurud-Din r.a. sering menasehatinya mengenai pentingnya mendirikan
Salat.
Maka
suatu hari ia pun mulai mengerjakan Salat.
Namun,
ketika ia sedang Salat, ada seorang wanita ‘datang mengirim makanan dan
memanggilnya agar mengambil.
Karena
tak menjawab, wanita itupun memanggilnya lagi dengan berteriak agar mengambil
makanan itu. Jika tidak, ia akan ‘datang untuk [mengusik] memberitahukannya.
Demi
mendengar teriakan wanita itu – begitulah keadaan kesehatan jiwa Peera ini –
ketika dalam posisi attahiyat akhir,
ia pun menjawabnya dengan berteriak, bahwa ia akan segera ‘datang setelah Salatnya
selesai……J !
(2)
[Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melanjutkan]: ‘Pada waktu itu pun belum ada
Kantor Pos di Qadian, tak juga tersedia fasilitas komunikasi lainnya.
Di
masa banyak orang tiba di Stasiun K.A. Batala, Maulwi Muhammad Hussein Batalwi biasa
berusaha agar mereka membatalkan lanjutan safar ke Qadian, dan mulai mempengaruhi
agar menentang Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
Suatu
hari, ia pun menghentikan Peera dan berusaha mempengaruhinya.
Namun
Peera menjawab: ‘Aku ini memang tuna ilmu dan awam. Tetapi ada satu hal yang
kini aku fahami, bahwa tuan Maulwi senantiasa berusaha untuk membatalkan orang
bersafar ke Qadian. Dan bertahun-tahun lamanya aku bertugas mengirim telegram beliau
dlsb, dan menyaksikan tuan Maulwi berusaha mencegah orang agar jangan pergi ke Qadian.
Tetapi tak ‘ada yang mempedulikan.
Sebaliknya
dengan ‘Mirza sahib’ yang tetap berada di Qadian, namun orang terus menerus tertarik untuk ‘datang menemui
beliau.
Tentulah
ada suatu kebenaran di dalamnya !’
Begitulah
seorang insan yang tak sepenuhnya memahami kaidah Salat, dapat menyanggah dan
memberi jawaban yang telak terhadap [seorang ulama besar seperti] Maulwi
Muhammad Hussein Batalwi.
Orang
yang memiliki ta’aluq billah yang haqiqi
dikaruniai ilmu yang mengagumkan oleh Allah Taala, karena Dia itu bersifat
memperbaiki segala sesuatu.
Yakni,
jika ada sesuatu kekurangan, maka Allah Taala pun akan mencukupinya. Jika
kurang berhikmah, Allah akan mengaruniainya. Jika sebelumnya bersifat pengecut,
Dia akan menjadikannya pemberani. Jika ada kepapaan, Allah Swt akan
mencukupinya. Jika ada kekurangan dalam kesehatan, Allah Swt akan membuatnya
prima. Jika kurang dihormati, Allah Taala akan memuliakannya; dan jika
kekurangan harta benda, Dia pun akan mencukupinya.
Pendek
kata, Allah Swt adalah pemilik segala Khazanah, yang akan Dia berikan kepada
para hamba-Nya yang haqiqi dengan cara yang mengherankan.’
(1)
‘Suatu hari, seorang Pendeta Amerika yang terkenal, ‘datang berkunjung ke Qadian
diiringi oleh beberapa Pendeta lainnya.
Dr.Khalifa
Rashiduddin sahib bertugas membawa berkeliling, yang pada waktu itu Qadian belum
memiliki system pemerintahan desa yang efektif. Sehingga banyak sampah
berserakan di jalan.
Maka
tuan Pendeta itupun mulai menyindir kebersihan Kampung ‘Al Masih yang baru’
ini.
Dr.Rashiduddin
sahib menjawab: ‘Bukankah tanah Hindustan ini masih berada di bawah
pemerintahan ‘Al Masih yang pertama’ [Kerajaan British-India] ? Inilah contoh
tingkat kebersihan mereka. Sedangkan pemerintahan ‘Al Masih yang baru’, belum
lagi berdiri.’
Sang
Pendeta pun terdiam.
Kemudian,
ketika ia bertemu dengan diriku (Hadhrat Muslih Mau’ud r.a.), ia bertanya:
‘Apakah akidah Islam mengenai faham ‘reinkarnasi’ ?’
Aku
segera memahami arah pertanyaannya ini.
Yakni,
tuan Pendeta memaksudkan: Apakah keyakinan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebagai
Al Masih berarti ruh Isa Al Masih Israili itu telah menitis ke dalam jiwa Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. ?
Bila
demikian, berarti ini adalah faham ‘reinkarnasi’ yang ditolak oleh Al Qur’an
Karim.
Maka
aku menjawab: ‘Sesungguhnya kami meyakini beliau sebagai Al Masih Yang
Dijanjikan adalah karena keserupaan sifat-sifatnya dengan Al Masih Israili.
Bukan secara ragawi.’
Kemudian
pertanyaannya yang kedua adalah mengenai kelayakan lokasi kebangkitan Al Masih
Yang Dijanjikan ini di Qadian. Mana mungkin dapat menyebar-luaskan missinya ke
seluruh dunia ?’
Aku
menjawab: ‘Apakah tuan tak ingat kecilnya Kampung Nazareth [di Palestina]
tempat kebangkitan ‘Al Masih yang pertama itu’ ? Bukankah hanya terdiri dari
selusin rumah keluarga saja ?!
Maka
tuan Pendeta itupun terbungkam.
(2)
Suatu kali, ‘datang seorang Mullah besar menemuiku untuk mempertanyakan bukti kebenaran
Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
Aku
menjawab: ‘Semuanya ada di dalam Al Qur’an Karim.’
Tetapi
ia mengatakan ingin satu ayat yang qath’i;
meskipun aku sudah menjelaskan, bahwa
setiap ayat Al Qur’an merupakan bukti kebenaran pendakwaan ‘Mirza sahib’.
Sebab, ayat-ayat Al Quran Karim mendukung kebenaran para rasul Allah sedemikian
rupa.
Namun,
ada beberapa ayat yang mudah difahami sebagai bukti kebenaran tentang hal itu;
dan sebagian lain tidak, karena penjelasan tafsirnya tak mudah difahami oleh
setiap orang.
Maka
tuan Mullah ini pun dipersilakan untuk memilih satu ayat yang diinginkannya.
Dan
ia memilih ayat ini:
yakni, ‘Dan di antara manusia ada yang
mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Yaumil Akhir;’ padahal mereka bukan
orang-orang yang beriman.’ (QS. 2 / Al Baqarah : 9).
Atas
kuasa [firasat] Ilahi, aku sudah mengetahui bahwa ia akan merujuk kepada ayat ini,
yang ternyata begitulah yang terjadi.
Karena
sebelumnya ia bersikeras, bahwa: Jika kaum Muslimin sudah melaksanakan agamanya
dengan baik, mengapa perlu ada lagi nabi ?
Maka
aku pun merujukkan ayat itu kepadanya,
bahwa ayat Al Quran Karim tersebut membahas mengenai sebagian kaum Muslimin yang
telah menjadi sesat. Lalu mengapakah Allah Taala tak mengutus seorang rasul
untuk meng-ishlahnya ?
Maka
ia pun terdiam.
Jadi,
segala sesuatu berasal dari Allah Swt. Kemampuan manusiawi tak sanggup
melakukan apapun.
Inilah
mengapa sebabnya perlu diingat, bahwa sebelum doa-doa dipanjatkan dalam kondisi
‘mudzhthar’
(atau menderita), yakni yaqin sepenuhnya bahwa hanya Allah Taala yang
dapat memenuhi segala keperluan dunia, maka doa pun tak akan makbul.
Yakni,
sudah barang tentu ada di dunia ini suatu Kaum yang dapat memberi sesuai dengan
karunia Allah Taala yang diberikan kepada mereka, tetapi mereka hanya dapat
memberi pakaian.
Ada
pula suatu Kaum di dunia ini yang dapat memberi sesuai dengan apa yang Allah telah
berikan kepada, tetapi mereka hanya dapat memberi tempat tinggal.
Ada
suatu Kaum di dunia ini yang dapat memberi banyak faedah kepada orang lain
sesuai dengan karunia ilmu yang diberikan Allah Swt kepada mereka, namun hanya dapat memberi pengobatan.
Ada
suatu Kaum di dunia ini yang diberi karunia ilmu oleh Allah Taala agar dapat
mendampingi orang yang akan dituntut di muka pengadilan secara cuma-cuma, namun
mengatakan hanya dapat memberikan bantuan hukum dengan gratis.
Tetapi
tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki kesanggupan untuk melakukan
seluruh amal kebaikan tersebut.
Tak
‘ada seorangpun manusia yang dapat merubah qalbu orang lain. Tak dapat mengubah
perasaan mereka. Melainkan hanya Allah Swt sajalah yang berkuasa untuk mengubah
qalbu dan perasaan manusia yang paling dalam.
Yakni,
sebelum doa-doa dipanjatkan dalam kondisi ‘mudzhthar’ (atau menderita); yakni, sungguh-sungguh
berharap hanya kepada Allah; segala sesuatu demi lillahi Taala, dan yaqin sepenuhnya kepada Allah, maka doa pun tak
makbul.
Sebaliknya
jika dipanjatkan dengan kondisi [mudzhthar] seperti itu, maka
niscaya akan mencapai arasy-Ilahi, dan menjadi makbul.’
Itulah
beberapa ringkasan Khutbah Jumah Hadhrat Muslih Mau’ud r.a..
Yakni,
jika kita ingin merubah kondisi diri, maka kembalilah kepada Allah dengan cara
tersebut.
Semoga
kita semua menjadi orang-orang yang berdoa dengan kiat seperti itu. Amin !
Selanjutnya
saya umumkan mmengenai telah meninggalnya tuan Azim yang sangat berkhidmat kepada
orang lain di Bidang Dziafat Jamaat London.
Salat
janazahnya akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang.
Almarhum
meninggalkan beberapa orang anak yang masih sekolah.
Semoga
Allah Taala menjadi Pelindung bagi mereka. Amin !
oooOOOooo
MA/LA/20130227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar