Kamis, 18 Februari 2016

Khutbah Huzur 12 Februari 2016


Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.: ‘Mutiara-mutiara Hikmah.’
Disampaikan oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad Atba,
Khalifatul Masih Al-Khamis, di Masjid Baitul Futuh, London UK




     Setelah mengucapkan "Assalamo-Alaikum wa Rahmatullah", tasyahud, syahadat, ta’awudz, dan tilawat Surah Al-Fatihah, Hazoor Aqdas Atba melanjutkan Khutbah Jumah beliau mengenai berbagai hikayat yang meningkatkan akhlak, serta beberapa Dars yang disampaikan oleh Hadhrat Masih Mau'ud a.s. sebagaimana yang dituturkan oleh Hadhrat Muslih Mau'ud r.a..
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. suka membacakan berbagai cerita yang dapat meningkatkan akhlak bagi anak-anak beliau.
[Antara lain] Didatangkan-Nya Banjir Bandang besar [di zaman] Hazrat Nabi Nuh a.s. disebabkan Kaum-nya yang telah menjadi sangat bejat moral.
Yakni, manakala dosa-dosa suatu Kaum telah sedemikian melampaui batas dalam pandangan Allah Swt, maka terjadilah peristiwa sebagaimana di zaman Hazrat Nuh a.s. itu, yakni: Alkisah ada seekor anak burung [yang masih pi’it] tertinggal sendirian di sarangnya, kelaparan dan kehausan di atas pohon di ketinggian sebuah bukit. Sementara karena sesuatu dan lain hal induknya belum juga pulang. Maka anak burung itupun terengah-engah kepayahan disebabkan dahaganya.
Maka Allah Swt memerintahkan para malaikat untuk segera menurunkan hujan deras sedemikian rupa sehingga permukaan airnya dapat mencapai ketinggian anak burung pi’it itu agar ia bisa minum.
Para malaikat berkata, bahwa hujan deras yang permukaan airnya dapat cepat mencapai ketinggian bukit tersebut sama artinya akan menenggelamkan dan membinasakan seluruh Kaum yang bermukim di sekitarnya.
Allah Swt menukas: Aku tak perduli !

(Dan Dia tidak perduli akan akibatnya.' (QS.91/Al-Shams : 16).
     Jadi, begitulah jika suatu Kaum sudah menjadi pendosa, maka mereka pun sudah tiada artinya dalam pandangan Allah Taala dibandingkan dengan seekor anak burung.
Jadi, hikmah moralnya: Bila suatu Kaum sudah sedemikian rupa sesat dari jalan lurus petunjuk hidayah-Nya, keberadaan mereka dalam pandangan Allah Swt adalah lebih hina dibandingkan dengan seekor anak burung.
     Maka kita pun hendaknya dapat memeriksa diri: Apakah setelah menerima kebenaran risalah Hadhrat Masih Mau'ud a.s. sudah sungguh-sungguh mendahulukan kepentingan agama di atas urusan duniawi ? Apakah sudah menjauhi segala kemunkaran dengan menjalani hidup taqwa ?
Jika kita pada hakikatnya sudah mengingkari Allah Swt, maka Dia pun tak akan memperdulikan kita lagi. Situasi Dunia seperti itulah yang sekarang ini kita saksikan. Di sekian banyak negara: Baik pemerintahannya maupun rakyatnya sudah tidak memperdulikan lagi hak mereka masing-masing. Sehingga terjadilah berbagai kerusuhan dan gangguan umum. Bahkan kalau pun di beberapa negara tidak demikian, masyarakatnya yang berpaling dari  Allah Swt. Juga menghina dan nenganiaya Asma-Nya. Sudah begitu banyak praktek penyimpangan yang melawan kodrat alam, malah dilegalisasikan. Maka berbagai bencana alam pun datang silih berganti disebabkan perbuatan dosa yang sudah merajalela.
     Akan tetapi berbagai bencana alam tersebut barulah sekedar peringatan Ilahi.
Adalah kewajiban Kaum Ahmadi untuk menyadarkan Dunia: Bila segala sesuatu tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, maka niscayalah Malapetaka Besar pun akan datang mendera.
Begitu banyak dibicarakan perjuangan untuk hak diri sendiri, yang tak memperdulikan segi bahayanya bagi pihak lain.
     Sedangkan berikut ini adalah suatu peristiwa singkat yang dapat menginspirasikan Dunia, bagaimana seorang Muslim haqiqi bertabiat:
Seorang sahabah Hadhrat Rasulullah SAW membawa seekor kuda miliknya untuk dijual kepada seorang Sahabah yang lain; dan ia meminta harga 200 (dua ratus) Dinar.
Sahabah itu menyergah: Tak bolehlah aku membeli kuda ini seharga itu. Seharusnya 2 (dua) kali lipat daripada itu. Ini karena sangat boleh jadi tuan tak tahu harga pasarannya saat ini.
Sahabah pemilik kuda menjawab: Mana mungkin pula aku menerima harga kuda yang berlebih daripada yang aku tahu ?
     Sedemikian rupanya mereka saling bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing, sehingga mereka pun meminta seorang Sahabah lainnya yang lebih tahu untuk menengahi kepastian harga kuda tersebut.
     Jadi begitulah kedua orang Sahabah itu memperlihatkan ghairah ukhuwah Islamiyah mereka.
Begitulah sesungguhnya Islam mengajarkan: Alih-alih menuntut hak diri sendiri, sebaliknya, justru senantiasa berusaha untuk memenuhi hak orang lain terlebih dahulu. Setidaknya mendahulukan hak orang lain dulu.
     Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. bersabda: Kita [kaum Muslimin] ini suka menggunakan berbagai cara yang ghair-Islami, yakni tidak memenuhi hak orang lain. Contohnya ketika melakukan aksi mogok kerja yang tidak memperdulikan hak orang lain.
Yakni, pada hari-hari ini para Dokter junior di UK sedang melakukan aksi mogok kerja sehingga membuat para pasien menjadi cemas !
     Jadi, para Dokter muda tersebut bukan saja menampik hak pasien untuk mendapatkan perawatan medis, tetapi juga mempermainkan jiwa mereka !
Pada waktu kunjungan kerja saya ke Jepang ada seorang Pendeta Kristen yang bertanya dengan santun: Apakah pengertian damai [atau peace] itu ? Karena aku belum pernah mendengar jawabannya yang meyakinkan. “
     Saya menjawab: Islam mengajarkan untuk memberi orang lain sebagaimana yang diri kita kehendaki sedemikian rupa sehingga saling  memenuhi hak masing-masing dan menciptakan kedamaian.’
Maka tuan Pendeta itupun mengatakan, menyukai jawaban tersebut dan penting untuk menciptakan perdamaian. Baru pertama kalinya ia mendengar jawaban seperti itu.
Begitulah sesungguhnya: Tak mungkin kita dapat meyakinkan Dunia akan keindahan ajaran Islam jika tanpa memperlihatkan prakteknya meskipun harus mengorbankan hak kita.
Seorang Mukmin haqiqi tak akan mau menerima sesuatu yang bukan haknya.
Adalah sangat disesalkan ada beberapa kasus pertikaian yang masuk ke Dewan Qadha yang disebabkan satu saudara menipu sesama saudaranya yang lain. Atau suatu keluarga yang mengelabui keluarga lainnya.
      Suatu kali Hazrat Imam Hussein r.a. dan Hazrat Imam Hassan r.a. berselisih-faham sebagaimana lumrahnya abang dan adik.
Imam Hassan ini bertabiat halus, sedangkan  Imam Hussain bertemperamen tinggi. Beberapa orang sahabah menyaksikan perselisihan itu, yakni: Imam Hussein melontarkan kata-kata bernada tinggi sedangkan Imam Hassan tetap tenang.
Keesokan harinya sahabah tersebut melihat Imam Hassan berjalan tergesa-gesa ke suatu arah.      Maka sahabah itu pun bertanya hendak ke mana? Beliau menjawab: Mau menemui Imam Hussein untuk meminta maaf.
Sahabah itu terkejut dan berkata: Aku menyaksikan perselisihan itu. Adalah Imam Hussein yang berkata-kata keras. Maka seharusnya beliau itulah yang meminta maaf.
Hazrat Imam Hassan menukas: Aku mengetahui dia itu memang kasar. Oleh karena itulah kini aku terburu-buru untuk meminta maaf duluan. Sebab aku mendengar Hadhrat Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang terlebih dahulu meminta maaf dalam suatu pertengkaran akan masuk surga al-Jannah 500 tahun lebih awal dari lawannya.”
     Maka apabila dia yang kasar, tetapi terlebih dulu meminta maaf, tentulah aku ini rugi dua kali. Oleh karena itulah kini aku terburu-buru untuk meminta maaf. “
Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. meriwayatkan, bahwa beliau mendengar Hadhrat Masih Mau'ud a.s. suatu kali pernah menyampaikan cerita menarik ini: ‘Ada seorang pria yang pergi ke tempat pemandian sauna ala Turki, Hammam. Sang Pemilik telah menugaskan berbagai kiat pelayanan kepada para pegawainya. Karena sesuatu dan lain hal hari itu sang Pemilik tak berada di lokasi. Ketika pria pelanggan itu akan memulai tahap membasahi kepalanya, para pegawai itu pun berkelahi memperebutkannya sambil saling meneriaki: Ini adalah kepalaku !  Tidak, ini kepalaku !
Perkelahian itu semakin sengit hingga salah satu di antara mereka tertikam. Polisi pun berdatangan memeriksa dan memprosesnya hingga ke Pengadilan. Para pegawai pemandian tersebut tetap bersikukuh tentang hak mereka atas kepala pelanggan itu. Kemudian Hakim pun bertanya kepada si pelanggan yang menyadari bahwa para pegawai tersebut telah berbuat sesuatu yang naif; dan lebih terkejut lagi dengan Persidangan yang mempertanyakan kepalanya, yang dijawabnya dengan sengit: Ya betul ini memang kepala milikku sendiri; bukan milik siapapun !
Jadi, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. suka mengulang cerita ini untuk mengingatkan betapa sia-sianya memperebutkan harta duniawi itu !
     Yakni, bila seorang Muslim telah menyatakan bahwa dirinya adalah ‘abdullah’ (atau seorang abdi-Allah) artinya ia telah menanggalkan segala hak dan keinginannya, karena telah menjadi milik Allah Swt.
Al Qur'an Karim pun menyebut Hadhrat Rasulullah SAW sebagai Abdullah, yakni:

'…ketika hamba Allah berdiri untuk berdo’a kepada-Nya…' (QS. 72/Al-Jin : 20).
Jadi, Al Qur'an menekankan mukminin haqiqi adalah mereka yang berserah diri kepada Allah dengan jiwa, raga dan hartanya. Pada kedua-aspek inilah manusia tertuju.
Maka hal ini menunjukkan agar kita jangan sampai bertikai hanya dikarenakan kedua-hal tersebut yang adalah milik Allah Swt.
Mukminin sejati hendaklah berjuang keras untuk mencapai cita-citanya. Akan tetapi juga tak perlu banyak protes, seperti: Mengapa orang-orang ini diberi jabatan kepengurusan ? Mengapa orang itu tidak ?!
     Atau mengatakan: Kami tak akan bermakmum di belakang orang itu.
Semua itu adalah yang Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. telah katakan: Setengah orang boleh jadi mengatakan: Kini orang-orang semacam itu sudah tidak ada lagi. Tetapi kenyataannya berbagai kritik semacam itu tetap ada dilontarkan oleh setengah orang.
     Di zaman Hazrat Muslih Mau'ud r.a. masih banyak para Sahabah Hadhrat Masih Mau'ud a.s. yang hadir dan biasa mengoreksi orang ketika diperlukan.
Sekarang ini kita semakin menjauh dari Zaman itu, sehingga perlu semakin perhatian dan berhati-hati. Perlu lebih menyadari lagi bagaimana caranya menjadi para abdillah haqiqi. Menanggalkan segala sifat egoisme. Berusaha keras untuk mencapai tahap ridha Ilahi.
Manakala beberapa keputusan perlu dibuat yang bertentangan dengan suara terbanyak, maka terdengarlah beberapa perkara [protes] semacam itu.
Kini adalah tahun Pemilihan [Pengurus] Jama'at baru. Maka perlu mengoreksi cara berpikir dan menggunakan hak suara dengan benar, serta menerima berbagai keputusan yang telah dibuat.
Baru-baru ini kepengurusan Lajnah Imaillah di suatu negara telah dilakukan. Namun ada seorang wanita dari Jama'at tersebut yang menyurat kepada saya: Mengapa wanita-wanita itu diberi jabatan, sedangkan wanita ini tidak ?
     Maka hendaknya kerjasama perlu diberikan kepada siapapun yang telah diberi amanat.
Mukminin haqiqi senantiasa mencoba dan berusaha menyelesaikan tugas kewajibannya dengan sebaik-baiknya; dan alih-alih mengandalkan orang lain, ia pun ikut terjun langsung menanganinya. Hanya dengan cara itulah berbagai tugas pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. pun suka menceriterakan Kisah fabel: Seorang Berpunya dan Langar Khanahnya: Banyak orang miskin yang mendapat makan setiap harinya. Tetapi sayang salah-urus dan tidak diawasi sebagaimana mestinya; para pegawainya pun tak jujur. Bagian pembelian membeli bahan atau barang yang harganya lebih mahal, dan jumlahnya pun kurang dari kebutuhan yang seharusnya, belum lagi yang mereka bawa pulang ke rumah. Begitupula Bagian Dapur yang suka mendahulukan sanak-keluarga mereka atau untuk diri mereka sendiri. Gudang tempat penyimpanan bahan-bahan dibiarkan terbuka sehingga serombongan anjing dan serigala malam sering datang memakan dan merusaknya. Sehingga akhirnya sang Pemilik terjerat hutang besar yang baru diketahuinya setelah 20 (dua puluh) tahun salah-urus. Tetapi ia tak ingin menutup Langar Khanahnya itu. Maka ia pun berkonsultasi dengan beberapa temannya tanpa menyampaikan berbagai kelemahannya sendiri. Oleh karena itu mereka pun hanya merujuk kepada Gudang yang dibiarkan terbuka sehingga sekawanan anjing liar bebas memasuki dan menggasaknya. Pasang saja sebilah pintu, tentulah akan banyak menekan kerugian, kata mereka.
Maka ia pun memerintahkan seorang tukang untuk memasang pintu di Gudangnya itu.
Ketika malam tiba dan sekawanan anjing dan serigala malam itu mendatangi Langar Khanah, mereka pun mulai melolong dan menangis seolah tak ada lagi tempat untuk bersantap bagi seluruh kawanan mereka di daerah tersebut.
     Maka tampillah seekor anjing tua dari antara mereka menenangkan, bahwa: Sang Pemilik yang membiarkan Langar Khanahnya dikorup selama 20 (dua puluh) tahun tentulah tak akan berpikir apakah pintu itu ada kuncinya atau tidak; maka kalian pun mestilah tetap dapat menggasaknya.
Jadi, aspek moral dari cerita ini adalah: Banyak perbedaan dari antara berbagai kemungkinan yang memerlukan penanganan segera, bila dikerjakan atau tidak dikerjakan.
Yakni, kawanan anjing dan serigala-malam itu melolong dan menangis, karena: Gudang bahan makanan itu sudah tertutup pintu !
     Tetapi seekor anjing tua menenangkan mereka: Bagaimana jika ternyata pintu baru itu tidak berkunci ? Mengapa harus bersusah hati ?
Cerita anak-anak lainnya yang Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. masih ingat adalah Kisah ‘Lampu Aladdin” !
Yakni, Aladdin adalah orang miskin yang pada suatu hari menemukan sebuah ‘Lampu Wasiyat’. Ketika ia menggosok-gosok dan membersihkannya: Muncullah sesosok Jin, yang akan memenuhi segala keinginan Aladdin.
Hazrat Muslih Mau'ud r.a. menuturkan: Ketika aku masih kanak-kanak, aku pikir Lampu Aladdin itu memang nyata. Tapi setelah dewasa tak percaya. Namun setelah usiaku separuh baya, terpikir kembali, sesungguhnya ada suatu fenomena hikmah tarbiyah di dalam hikayat tersebut: Yakni, Lampu Aladdin itu tidak bekerja dikarenakan adanya sesuatu minyak. Melainkan harus dengan usaha dan kerja keras.
     Siapapun yang dikaruniai Lampu semacam ini oleh Allah Swt: Keinginannya akan menjadi kenyataan !
Ini berdasarkan fakta, bahwa usaha dan kerja keras adalah Sifat-sifat Ilahi sebagaimana pernyataannya: Kun fayakun !

Yakni, [Sesungguhnya ucapan Kami berkenaan dengan sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya berkata kepadanya] 'Jadilah', maka jadilah ia.’
Jadi, begitupula jika kita itaat mengikuti perintah Allah Swt, dan menyesuaikan diri dengan berbagai kaidah yang telah ditetapkan-Nya. Kemudian bekerja keras atas apa yang telah diperintahkan-Nya itu, banyak berdoa kepada-Nya dan memohon nushrat pertolongan-Nya yang khas, maka bila ia berucap: Kun fayakun, maka terjadilah itu !
     Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. meriwayatkan: Di masa kecil aku percaya kepada keajaiban Lampu Aladdin; tetapi pudar ketika menginjak usia dewasa. Namun, setelah berusia-baya dan mengalami berbagai macam peristiwa kehidupan, aku pun menyadari, bahwa Hikayat Aladdin [dengan Lampu-nya] itu adalah nyata. Akan tetapi juga sebagai perlambang, yakni Lampu tersebut menekankan perlunya usaha dan kerja keras, yang apabila terus menerus dilakukan - seberapa besar pun cita-cita dan keinginan - akhirnya akan terjadi juga. Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. bersabda: Setengah orang menginginkan sesuatu tepat pada waktunya, tetapi tidak terjadi. Ini disebabkan keinginannya itu setengah hati, dan nihil dari berbagai syarat yang diperlukan untuk menzahirkannya. Sehingga tetap saja hanya sebatas menjadi cita-cita dan pikiran belaka.
Hal ini khususnya lagi terjadi pada perkara mendirikan Salat.
     Banyak orang mengatakan, bahwa ia akan mengerjakan Salat dengan dawam; tetapi ternyata tidak.
Itulah jika tidak memanfaatkan berbagai potensi diri, dan tak juga memohon pertolongan Allah Taala, tentulah tak akan terjadi sesuatu. Tak mungkin pula orang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu dan ia tak dapat mengerjakannya.
      Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. menyampaikan: Ketika usia anak-anak aku suka mendengarkan berbagai cerita, lalu tertawa; meskipun padahal ada pesan moralnya. Dan si Pengarang menganalogikannya dengan kondisi kaum Muslimin sekarang.
Yakni: Ada seorang pembantu rumah tangga yang pada Bulan Puasa biasa membangunkan keluarga majikannya untuk makan Sahur, sedangkan ia sendiri tidak berpuasa. Maka majikan perempuan itu berpikir: PRT ini bersusah-payah bangun sejak dini hari hanya untuk menyiapkan makan Sahur keluarganya. Sedangkan dia sendiri tidak berpuasa. Maka mengapa kami harus menyusahkannya ?
Lalu ibu ini pun memerintahkan sang pembantu itu agar tidak perlu membangunkan. Sebab ia sendiri yang akan menyiapkan segala sesuatunya.
PRT itu menukas: Aku ini tidak mengerjakan Salat. Tak pula berpuasa. Jika aku tak makan Sahur tentulah aku ini menjadi orang kafir ?!   Begitulah ilustrasi keadaan Kaum Muslimin; yang juga suka hanya menghadiri Salat Jumatul Wida (Shalat Jumat terakhir) di bulan Ramadan.
Adalah pandir orang yang berpikir: Mengerjakan satu Salat itu saja sudah cukup.
Padahal Salat Lima Waktu adalah wajib bagi seluruh orang Muslim yang sudah aqil baligh; dan bagi kaum prianya wajib Salatul Qaimah berjamaah.
      Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. meriwayatkan: Aku mendengar dari Hadhrat Masih Mau'ud a.s., bahwa: Manakala seorang Raja atau Pembesar berkunjung ke suatu tempat selalu diiringi dengan para pengawalnya, dan mereka tak perlu permisi kepada tuan rumah yang dikunjungi.
Pendek kata, setiap Pemimpin Besar selalu diikuti oleh para pengawal dan beberapa orang penting lainnya.
     Begitulah, kata beliau a.s.: Seberapa pun rendahnya tingkat perkembangan rohani kita, berusahalah sedemikian rupa untuk menghubungkan diri dengan para malaikat. Sehingga kemana pun mereka pergi kita pun ikut bersamanya. Kita akan dikategorikan sebagai pembantu mereka. Sehingga manakala mereka menembus kalbu dan pikiran manusia, kita pun akan termasuk di dalamnya.
     Kekuatan kita berada di dalam daya kerohanian kita. Agar daya kerohanian tersebut semakin meningkat, kita perlu berhubungan erat dengan para malaikat. Sehingga, kemanapun Nur-Ilahi mengarah, kesitu pulalah kita berada.
Maka, Hazrat Khalifatul Masih Atba mengingatkan: Agar senantiasa mengingat tujuan utama kita berkumpul, baik di dalam  Jalsah ataupun Ijtema, ialah untuk memperoleh peningkatan kerohanian.
Jika kita tekun memelihara tujuan utama ini, maka para malaikat pun akan membantu.
Mukminin haqiqi adalah mereka yang senantiasa beramal shalih; yang selalu berupaya untuk meningkatkan amalan shalihannya dengan semakin rendah hati dan banyak beristighfar.
Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. bersabda: Sahabah Hadhrat Rasulullah SAW meriwayatkan, bahwa: Manakala beliau Saw berdo’a [dalam sujud] terdengar suara-suara seperti air yang sedang mendidih di dalam periuk.
     Hazrat Muslih Mau'ud r.a. bersabda: Tanamkanlah sifat maksum dan muttaqi. Jangan cemari dengan unsur-unsur ketidak-jujuran yang akan menggerayangi seberapa pun shalihnya amalan itu.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. suka menjadi keheranan: Mengapa orang-orang yang pulang dari Hajji kalbu mereka semakin keras dan takabur dibandingkan sebelumnya. Ini disebabkan banyak di antara mereka yang tidak memahami haqigat beribadah Hajji; melainkan hanya bangga telah melaksanakannya.
     Kemudian beliau pun suka menceriterakan suatu peristiwa menarik dalam kaitan ini; yakni: Pada suatu petang yang dingin ada seorang wanita tua yang sedang menunggu kereta di sebuah Stasiun. Tak disadari, selendang selimutnya ada yang mencuri. Ketika ia merasa kedinginan dan berusaha untuk membetulkan selendangnya itu barulah ia sadar: Selimutnya telah hilang.
Keruan saja ia berteriak: Bang Haji, selimutku cuma satu-satunya itu. Tolonglah kembalikan, karena aku sangat membutuhkannya !
     Pak Haji yang duduk di dekat wanita tua itu mendengar dan tersipu malu segera mengembalikannya sambil bertanya: Bagaimana kamu tahu aku yang mengambilnya ?!
Wanita itu menjawab: Dalam kondisi seperti ini, aku tahu hanya seorang Haji-lah yang tega-teganya berbuat seperti itu.
     Jadi, begitulah jangan sembarangan beranggapan sudah berniat dan beramal shalih. Sebab keyakinan itu datang sebagai karunia dari Allah Swt; bukan semata-mata hasil dari apa yang kita kerjakan.
Maka senantiasalah ingat aspek karunia Allah Taala ini.
Yakni, para pencahari yang tidak memperdulikan pintu lain selain pintu Allah Swt, akan menarik karunia-Nya.
Sepanjang masih berfokus kepada Allah, maka akan selamat. Tetapi jika kita meninggalkan pintu-Ilahi, maka seberapapun besarnya niat atau amalan yang kita kerjakan, tak akan tercapai.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. pun suka menceriterakan suatu Kisah di zaman Hadhrat Khalifah Abu Bakar r.a., atau Hadhrat Umar r.a.: Seperangkat perhiasan telah hilang dicuri dari rumah beliau r.a..
Maka seorang abdi-dalam pun berteriak-teriak memberitakan barang hilang serta menyumpahi pelakunya yang sedemikian nekad mencuri di rumah seorang Khalifah pilihan Allah. Semoga Allah mengutuknya !
     Ringkas cerita, akhirnya perhiasan tersebut ditemukan berada di Toko Pegadaian milik seorang Yahudi. Maka ia pun menyebutkan nama si abdi-dalam yang menggadaikannya.
Jadi, kata-kata kutukan ataupun pernyataan itaat yang hanya di mulut, tak ada guna; yang penting adalah kenyataannya.
     Yakni, orang yang sesumbar itaat itu boleh jadi adalah munafik kabir.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. meriwayatkan: Suatu kali berjangkitlah Wabah Cholera. Ada seseorang yang setengah pingsan di saat pemakaman orang yang tewas terkena wabah. Ini karena mereka itu membunuh dirinya sendiri, katanya. Yakni, sudah tahu sedang ada wabah cholera tetapi mereka tidak berhati-hati dalam hal makanan, alias rakus. Ada seseorang yang sesumbar berkata: Lihatlah aku hanya makan sepotong roti, tetapi mereka sedemikian rupa tamaknya, sehingga merekapun mati bergelimpangan. Keesokan harinya ada lagi yang dikuburkan. Orang pun bertanya-tanya: Siapa yang meninggal ?  Salah seorang yang sedang menderita, bersusah payah menjawab: Dia adalah orang yang makan hanya sekerat roti itu.
Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. mengatakan: Apa gunanya mendakwakan sesuatu yang hampa seperti yang dilakukan orang itu ?
Sesungguhnya, kita dapat menyampaikan sesuatu yang Allah Taala telah nyatakan. Contohnya adalah:
'
‘Allah telah menetapkan: 'Aku dan rasul-rasulKu pasti akan menang…' (QS 58/Al-Mujadalah : 22).
Yakni, jika ada orang yang menyatakan, bahwa ia akan menghabisi kita, adalah bukan perkara kekuatan pribadiku. Aku tak dapat berkata apa-apa.
Tetapi jika ia mengaitkannya dengan [Jama'at]   Ahmadiyah, bagaimanapun juga ia tak akan berhasil, karena Ahmadiyah inilah yang pasti akan menang.
[Jamaah] Kita lebih memiliki kepastian dizahirkannya Janji-janji Ilahi dibandingkan kepastian kehidupan pribadi kita. Yakni, Ahmadiyah pasti akan menang, baik itu di zaman kehidupan kita, ataupun nanti. Maka ketaqwaan adalah syarat utama untuk menjadi bagian dari Kemenangan itu.
[Kemudian] Hadhrat Masih Mau'ud a.s. sering menyampaikan: Cinta seorang ibu adalah yang paling istimewa dalam menggambarkan makna kecintaan.
Beliau a.s. menulis: Di satu pihak sesosok bayi menangis-nangis sedemikian rupa karena kelaparan dan kehausan, di pihak lain, sang ibu pun terpengaruh jiwa dan raganya oleh tangisan dan rintihan anaknya itu, sehingga menghasilkan air susu di dadanya.
Begitupula setiap pencahari ma’rifat Ilahi hendaklah menzahirkan penderitaan dahaga dan kelaparan rohaninya, sehingga susu rohaniahnya datang memuaskan dahaga rohaniahnya.' (Essence of Islam, Vol. II, p. 263 - Barahin-e-Ahmadiyya, Part V, Ruhani Khaza'in, vol. 21, p. 34).
Jadi, berusahalah untuk itu dengan sebaik-baiknya dengan sepenuh ikhlas. Tidak dengan cara yang munafik.
Kembalilah kepada Salat dan  berdo’a dengan sebanyak-banyaknya.
Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. telah menyerukan Jama'at untuk rajin berpuasa nafal. Saya pun telah menyerukan hal ini sejak beberapa tahun yang lalu, dan beberapa Jama'at masih melakukannya.
Yakni, sekurang-kurangnya kerjakanlah 40 (empat puluh) kali berpuasa tiap seminggu sekali [hingga akhir tahun]. Disiplin Salat [berjamaah] dilaksanakan; ditambah dengan Salat Nafal. Juga banyak bersedeqah.
     Di beberapa tempat Jama'at mengalami banyak penganiayaan. Jika kita merintih dihadapan Allah Swt, maka sebagaimana tangisan bayi yang menghasilkan air susu ibu, begitupula-lah bantuan dan nushrat pertolongan Allah Swt akan turun dari langit sebagaimana yang telah terjadi di masa-masa yang lalu.
Hadhrat Muslih Mau'ud r.a. bersabda, bahwa tiada kekuatan di tangan kita untuk melenyapkan berbagai kesulitan; seperti berbagai hinaan lisan maupun tulisan terhadap diri Hadhrat Aqdas Masih Mau'ud a.s. yang tak ada yang sanggup membaca atau mendengarkannya. Tak ada tempat untuk menuntutnya. Pihak berwewenang pun tak ambil perduli. Di masa lalu, setidaknya tak banyak diundang-undangkan yang menentang kita. Tetapi di Pakistan sekarang banyak Undang-undang yang menganiaya kaum Ahmadi. Berbagai Pengadilan cenderung menghukum orang Ahmadi. Maka sekarang ini sangat diperlukan jeritan dan rintihan dihadapan Allah Swt, khususnya lagi untuk kaum Ahmadi di Pakistan dan juga di beberapa tempat lainnya.
Maka kembalilah kepada Allah Taala dengan sepenuh ikhlas. Dirikanlah Salat Nafal. Perbanyaklah sedeqah; dan berpuasalah.
Tak ada cara lain selain menarik Sifat Rahimiyat-Nya.
Semoga Allah Swt memberi taufiq kepada kita untuk berdo’a sedemikian rupa yang dapat mengguncangkan singgasana-Nya ! Amiin !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar