Minggu, 10 Maret 2013

Khutbah Huzur 1 Maret 2013


Penyimpangan Muslimin Kini
&Ajaran Islam yang Haqiqi
Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
1 Maret 2013 di Masjid Baitul Futuh London, UK


               
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

artinya, ‘Dan mereka yang menghubungkan yang Allah telah memerintahkan hal itu supaya dihubungkan, dan takut kepada Tuhan mereka, dan takut kepada hisab yang buruk;’ (Q.S. 13 / Al Rad : 22).
            Ayat tersebut di atas tidak hanya memerintahkan untuk ber-‘…yashiluuna maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya dihubungkan, melainkan menekankan pula harus dijaga dan dipelihara [kelestariannya].
            Sebab, mukminin haqiqi yang telah dikaruniai nikmatnya keimanan, tak dapat membayangkan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keridhaan Allah Swt.
            Yakni, sekali ia berhasil ber-ta’aluq billah, dan sesuai dengan perintah-Nya pula ia mengadakan berbagai perhubungan lainnya (atau hablum minannas), maka ia pun akan memelihara kelestariannya.
            Inilah tanda kecerdasan dan keimanannya yang haqiqi terhadap perintah  ‘…yashiluuna maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau, menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya dihubungkan.
            Yakni mereka menegakkan berbagai perhubungan yang Allah Taala telah perintahkan untuk itu.
            Menerangkan tafsir ayat ini, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda: ‘Ada suatu kaum yang setelah berhasil mencapai keitaatan dan kecintaan kepada Allah Taala, maka perhatian mereka pun tertuju kepada makhluk ciptaan-Nya. Dan sesuai dengan berbagai perintah Allah pula, mereka pun menjaga persatuan dan mendatangkan faedah.
            Mereka senantiasa berusaha untuk mencapai maqom yang istimewa dalam mentaati dan mencintai Allah, disebabkan ‘…yakhsauna rabbahum wa yakhaafuuna suu’al hisab…’, yakni, takutlah kepada Tuhan mereka, dan takutlah kepada hisab-Nya yang buruk.
            Yakni, qalbu mereka memiliki ‘khashiyyat’, atau sikap takut kepada Allah Taala.
            Berbagai Lexicon [Kamus Bahasa Arab] menerangkan, bahwa kata ‘khashiyyat’ artinya takut kehilangan sesuatu yang sangat berharga setelah memahaminya demikian banyak keindahan dan keistimewaan di dalamnya.
            Yakni, ia sadar menjadi takut kehilangan hal tersebut bukan hanya disebabkan takut menjadi rugi atau membahayakan dirinya, namun juga keyakinannya bahwa hal itu adalah yang paling utama dan terutama, sehingga tak ingin kehilangan disebabkan ia mengabaikannya.
            Dan bagi seorang mukmin haqiqi, hal tersebut tiada lain adalah Allah Swt saja.
            Yakni sebagaimana telah disebutkan, sekali seorang mukmin sejati telah berhasil ber-ta’aluq billah haqiqi, maka minatnya pun mengarah kepada [manusia ‘sesama] makhluk ciptaan Allah.
            Ia senantiasa teringat akan ‘khashiyyat’, yakni, yakhaafuuna suu’al hisab, atau takut kepada hisab-Nya yang buruk berupa murka Ilahi disebabkan tidak memenuhi kewajiban haququl ibad.
            Inilah yang seharusnya kaum mukminin haqiqi bersikap. Yakni, ia tak akan sanggup menanggung murka Ilahi.
            Sebab, pada kenyataannya, bahkan orang yang tipis keimanannya pun bersikap  demikian.
            Akan tetapi, kita menyaksikan mereka yang membaca Al Quran Karim dengan terjemahnya; Seolah menunjukkan ketakwaannya; dan tak mau diazab Ilahi, namun mereka tak memenuhi kewajiban haququl ibad.
            Mereka tak berusaha ber-‘yashiluuna maa amarallahu bihi ayyuu shala, atau menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya dihubungkan dengan serius sebagaimana yang tampak dari kondisi kontradiktif di kalangan mayoritas kaum Muslimin kini.
            Namun, kita pun tak dapat mengatakan bahwa 100% Kaum Ahmadi telah sungguh-sungguh menjadi mukminin haqiqi seperti yang diprasyaratkan itu.
            Saya akan membahas hanya satu dari berbagai sifat Muslimin haqiqi sebagaimana telah disyaratkan dengan jelas oleh Allah Taala.
            Yakni, yang salah satunya adalah: ‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’.

(Q.S. 48 / Al Fath : 30).
            Yakni, Allah Taala telah menegaskan, bahwa inilah salah satu tanda Mukminin haqiqi.
            Akan tetapi kaum Ulama dan Umara di berbagai negara Muslim telah menginjak-injak kewajiban ini dengan mengatas-namakan Islam.
            Dan hal ini tidak hanya terjadi di salah satu negara Islam saja; melainkan menyebar-luas di ‘hampir seluruh negara tersebut. Hanya tingkat keparahannya saja yang berbeda-beda.
            Ini disebabkan sikap mengejar kepentingan pribadi lebih diutamakan dibandingkan berusaha keras untuk memperoleh keridhaan Ilahi.
            Tengoklah kondisi di Pakistan. Lusinan orang tewas setiap harinya, yang jika diurut sejak beberapa tahun terakhir, dapat mencapai ribuan orang sebagaimana yang dilaporkan di dalam berbagai surat kabar.
            Disamping itu, setiap tahunnya ada ratusan, bahkan ribuan orang yang menjadi korban tewas oleh berbagai peristiwa bomb bunuh diri, yang semuanya itu mengatas-namakan Allah dan agama.
            Ayat Al Quran menyebutkan agar kaum Muslimin ber-‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’; juga ‘…asiddaa’u alal kuffari…’ atau ‘…lugas terhadap kaum kafirin…’.
            Namun kaum Ulama berpikir dapat semaunya memfatwakan orang lain sebagai kafir lalu memperlakukan mereka seenaknya; seolah mereka berhak melakukan apapun yang mereka kehendaki.
            Padahal, menurut Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang memfatwakan kufur kepada pihak lain, akan berbalik kepada diri mereka sendiri !
            Pakistan adalah negara aman dalam arti ‘tak ada perseteruan antara rakyat dengan pemerintahnya.
            Sedangkan di negara yang di dalamnya terjadi perang seperti itu, maka beberapa kekuatan asing pun ikut berbuat buruk, sehingga kaum Muslimin membunuhi ‘sesama kaum Muslimin lainnya.
            Contoh lainnya adalah di Afghanistan yang terus dirundung perang melawan ‘sesama kaum Muslimin, sehingga selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini telah menewaskan lebih dari 50,000 jiwa, yang kebanyakan justru penduduk sipil yang tak berdosa. Atau hanya sedikit saja pasukan asing maupun pasukan Afghani yang termasuk di dalam jumlah korban tersebut.
            Di Syria, satu-satunya negara padamana kaum Musliminnya memerangi kaum Muslimin mereka yang lain, menurut prakiraan perhitungan yang cermat, tak kurang dari 70,000 orang telah tewas.       Sementara di Mesir, ribuan orang telah ditewaskan atas-nama revolusi. Begitupun di Libya, yang bahkan terus menerus terjadi saling bantai [hingga kini].
            Adapun di Iraq, sejak tahun 2003 hingga sekarang, lebih dari 600,000 orang telah terbunuh; bahkan serangan bom bunuh dirinya pun masih terus terjadi hingga kini.
            Berbagai laporan yang masuk mengatakan, bahwa justru ada beberapa negara Muslim tertentu yang ikut terlibat, dan diperalat oleh beberapa kekuatan dunia.
            Contohnya, sebagaimana dilaporkan pada dua hari yang lalu: Ada satu negara di Europa yang mensuplai persenjataan ke pasukan oposisi di Syria, melalui Arab Saudi.
            Padahal di dalam pasukan oposisi tersebut ada beberapa unsur extremistnya, yang apabila mereka mendapatkan kekuasaan, maka rakyat pun akan semakin ditindas.
            Kaum extremist itu akan menghancurkan perdamaian dunia dikarenakan kesalah-tafsiran mereka terhadap perintah ‘…asiddaa’u alal kuffari…’ atau ‘…lugas terhadap kaum kafirin…’.
            Sebab, pendekatan pemahaman Islam yang benar, seharusnya adalah: Mengupayakan agar negara-negara Muslim duduk bersama bermusyawarah mencari solusi damai, tanpa campur tangan pihak luar.
            Dan sesungguhnya mereka dapat menempuh jalan ini.
            Yakni, seandainya kaum Alawiyah [di dalam tubuh militer] yang menindas pihak lain di Syria itu ditangani dengan cara ini sejak awal, tentulah situasinya kini dapat diredam.
            Maka jika terjadi Perang Dunia, niscaya dimulai di Timur [Damascus] ini, tidak lagi di Barat sebagaimana dua Perang Dunia sebelumnya.
            Berbagai negara Muslim perlu memahami tanggung jawab ini, seandainya mereka menjalankan perintah Allah:

yakni, ‘Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dikasihani.’ (Q.S. 49 / Al Hujurat : 11).
            Kaum Muslimin haruslah memiliki sikap takut kepada Allah Swt, atau Taqwa. Sehingga disebabkan saling pengertian dan ‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’ itu, mereka pun dapat menarik keridhaan Allah Swt.
            Pada kenyataannya, di dalam ayat yang Allah Taala telah memerintahkan agar kaum Muslimin ber-‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’ itu, diakhiri dengan: ‘…wa adallahulladziina aamanuu wa amilush-shaalihaati minhum-maghfirataw-wa-ajran adhiim…’,

yakni, ‘…Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih di antara mereka, ampunan dan ganjaran yang besar.’ (Q.S. 48 / Al Fath : 30).
            Adapun situasi pembunuhan dan anarkhi di negara tersebut maupun pemberontakkannya, sudah seperti dalam keadaan perang.
            Dapat disebut ‘dalam keadaan perang’ karena dalam usaha menancapkan otoritas mereka, beberapa negara adikuasa bercokol di daerah tersebut dengan mengatas-namakan untuk menjaga perdamaian regional, namun kenyataannya justru menciptakan situasi laksana perang.
            Maka seandainya kaum Muslimin menjalankan perintah Ilahi: ‘…ruhamaa’u baynahum…’, atau ‘berkasih-sayang di antara mereka’ itu; meskipun pertikaian sempat terjadi di antara mereka, tetapi tetap dapat mempraktekkan perintah ‘…fa-ashlihuu bayna akhawaykum…’, atau ‘…maka damaikanlah di antara kedua saudaramu…!
            Sehingga tak diperlukan campur tangan pihak luar. Tak pula mereka akan berani ‘datang ke negara Muslim.
            Di lain pihak, di negara Muslim yang tampak damai, kaum Musliminnya pun membunuhi ‘sesama kaum Muslim mereka.
            Yakni, jika pemerintah mereka menghukum pimpinan mereka, para pengikutnya pun mulai memberontak dan melakukan serangkaian pembunuhan.
            Islam macam mana pula ini ?!
            Kekejaman dan kebiadaban telah memuncak di berbagai negara Muslim. Atau kaum Musliminnya terjerumus dalam keburukan tersebut dengan mengatas-namakan Islam.
            Padahal Allah Taala telah menyatakan, bahwa ciri mukminin haqiqi adalah: Setelah berhasil mencapai keitaatan dan kecintaan kepada Allah Taala, maka hablum-minannas mereka terhadap [manusia ‘sesama] makhluk ciptaan-Nya pun semakin erat. Terutama lagi disebabkan ‘Innamal mu’minuna ikhwatun…!, atau ‘Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara !’
            Akan tetapi sungguh disesalkan, semakin ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk beramal-shalih dan berdamai, sikap kaum Muslimin justru semakin buruk. Semakin banyak bermunculan kalangan penindas di antara mereka.
            Kaum Muslimin dianggap sumber malapetaka di berbagai negara Kristen.
            Dan dari segi rasio-populasi, lebih banyak kaum Muslimin yang menghuni rumah penjara.
            Maka untuk memperbaiki kerusakan kondisi kaum Muslimin seperti itulah Hadhrat Imam Mahdi a.s. datang.             Akan tetapi mereka itu berkata tak memerlukannya. Karena ajaran mereka sudah cukup.
            Jika memang demikian, mengapa kaum Ulama mereka membentuk berbagai firqah yang berbeda-beda ?
            Dan mengapa pula mereka menjerumuskannya ke dalam jahanam saling mengoyak satu sama lain ?
            Mengapa mereka tak memahami peringatan Ilahi: ‘…yakhsauna rabbahum wa yakhaafuuna suu’al hisab…’, yakni, takutlah kepada Tuhan mereka, dan takutlah kepada hisab-Nya yang buruk.    Dan tidak pula mereka berusaha mengajarkan hal ini di kalangan pengikutnya ?
            Mereka tak takut neraka Jahannam, dan terus menerus menyesatkan umat.           Para pemimpin tersebut melupakan pesan mulia Hadhrat Rasulullah Saw yang berlaku untuk sepanjang zaman.
            Mereka melupakan pesan utama yang beliau Saw wariskan bagi Ummat ini.          Dengan menafi’kan pesan beliau Saw dikarenakan tidak mengindahkannya, maka mereka itu melakukan tindak ‘Tuhini Risalah’ (atau menghina Kerasulan beliau Saw).
            Yakni, di dalam Khutbah Jumatul Widha [di bulan Ramadhan] itu, Hadhrat Rasulullah Saw sudah mengamanatkan sebagai berikut: ‘Sebagaimana sucinya bulan ini, sucinya tanah ini, dan sucinya hari ini, demikian pula Allah Taala telah menjadikan kehidupan, harta benda dan kehormatan setiap insan adalah ‘sakral.
            Maka merampas kehidupan, harta benda, dan kemuliaan mereka adalah haram dan salah. Sebab melanggar kesucian hari, bulan dan tanah ini.
            Wahai manusia ! Sesungguhnya kalian pasti akan segera menemui Tuhan-mu, dan Dia akan menghisab segala amal perbuatanmu.
            Janganlah menjadi kafir lagi sepeninggalku, dengan saling membunuh.
            Maka sampaikanlah segala perkataan amanatku ini ke seluruh penjuru dunia.
            Boleh jadi mereka yang belum pernah mendengar amanatku ini justru lebih banyak memperoleh faedahnya dibandingkan kalian yang mendengarkannya kini.’
            Setelah menyampaikan Khutbah tersebut, Hadhrat Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabah hingga 3 kali: ‘Apakah hamba telah cukup menyampaikan amanat Ilahi ini ?’
            Hadhrat Abu Bakar r.a. menjawab: Ya, Huzur ! Tuan telah sungguh-sungguh melaksanakannya !
            Inilah amanat mulia Hadhrat Rasulullah Saw, namun kaum Muslimin di dunia kini melakukan sesuatu yang lain.
            Apakah mereka tidak merasa bersalah bahwa mereka telah menistakan Hadhrat Rasulullah Saw disebabkan bukan hanya tidak menjalankan perintah beliau saja, melainkan juga menginjak-injaknya ?
            Padahal, Hadhrat Rasulullah Saw pun bersabda, bahwa seorang Muslim adalah yang [perbuatan] tangan dan lidahnya menyelamatkan ‘sesama kaum Muslimin lainnya.
            Apakah kaum Muslimin sekarang ini sesuai dengan ajaran tersebut ?
            Mereka mengenyahkan kaum  Ahmadi dari Islam.
            Padahal kami berikrar Kalimah Syahadat dan abdi Hadhrat Rasulullah Saw yang ikhlas hati.
            Namun betapa banyaknya  penganiayaan yang mereka timpakan kepada kaum Ahmadi dibandingkan kepada kaum yang lain !
            Lusinan orang dari suatu firqah telah dibunuh di Quetta [Pakistan] hingga 2 kali oleh pihak yang tidak menyukai mereka.
            Kaum Syiah kini menjadi sasaran Undang-undang Ordonansi yang semula menyerukan agar setiap orang anti-Ahmadi itu.
            Sehingga penganiayaan ini akan dilakukan lagi oleh satu firqah terhadap setiap firqah yang lain.
            Saya mengatakan ‘lagi-lagi’ karena begitulah yang senantiasa terjadi.
            Yakni, hanya untuk anti-Ahmadi saja mereka bersatu.
            Namun, sekali mereka ‘menikmati' pembunuhan itu dan menjadi bergairah, maka berbagai larangan pun mereka langgar. Begitulah persisnya sebagaimana yang terjadi.
            Padahal, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. telah menjelaskan, bahwa Hadith [yang mengatakan]: Seorang Muslim adalah yang [perbuatan] tangan dan lidahnya menyelamatkan ‘sesama kaum Muslimin lainnya’, bukanlah hanya ditujukan bagi kaum Muslimin saja.
            Melainkan, hal ini berarti pula: Setiap insan yang cinta damai pun harus selamat dari [perbuatan] tangan dan lidah seorang Muslim.
            Inilah pemahaman berdasarkan jiwa Taqwa terhadap Hadith tersebut, yang tidak dimiliki oleh kaum Ulama sekarang.
            Yakni, sebelum mereka dapat mengikis-habis sikap mementingkan diri sendiri, kemudian menumbuh-kembangkan sikap pengorbanan, maka apapun penampilan jubbah penampilan pakaian mereka, tetap tak dapat disebut sebagai mukminin haqiqi.
            Belum lama ini ada seorang Maulwi yang berkata dalam suatu pernyataan, bahwa kaum Ahmadi adalah kanker.             Padahal sesungguhnya Kaum Ahmadi bukanlah kanker ! Melainkan justru berperan penting dalam menyiarkan ajaran Islam yang haqiqi ke seluruh dunia, sehingga menyediakan penyembuh bagi [krisis] kemanusiaan.
            Maka ada yang bertanya: Mengapa ada perbedaan antara Islam kita dengan Islamnya kaum Muslimin lain ?
            Kita menjawab: Ini dikarenakan ajaran Islam kami yang sesuai sebagaimana yang diajarkan oleh Hadhrat Rasulullah Saw dan Al Quran Karim. Sedangkan Islam-nya kaum Maulwi adalah bikinan mereka sendiri.
            Semoga Allah Taala membukakan mata dan hati Ummat Islam, serta mengabari mereka mengenai Islam yang haqiqi ini, yang tengah disyiar-luaskan ke seluruh dunia melalui seorang pecinta dan hamba Hadhrat Rasulullah Saw yang sejati.
            Meskipun kita tak dapat menjamin 100% bahwa kita semua telah memenuhi persyaratan [sebagai seorang Muslim haqiqi] seperti dinyatakan di dalam kedua ayat Al Quran (ialah, Q.S 13 / Al Rad : 22; dan Surah 49 / Al Hujurat : 11) tersebut.
            Maka setiap insan hendaknya mawas diri dan memeriksa dirinya masing-masing.
            Jangan berilusi tentang diri sendiri.
            Meskipun semoga saja berbagai kekhilafan kita dalam ukuran kecil, namun dapat menjurus ke kerusakan yang lebih besar.
            Kita ini adalah yang paling mendambakan untuk memperoleh maghfirah Ilahi bagi diri sendiri, tapi tak tahu bagaimana harus memaafkan orang lain
            Yakni, seandainya kita peduli terhadap orang lain dengan penuh kesabaran, tentulah berbagai perkara yang masuk ke Dewan Qadha dapat diselesaikan.
            Allah Taala menyatakan di dalam Al Quran Karim: ‘…wal ya’fuu wal yashfahuu. Alaa tuhibbuuna ayyaghfirallahu lakum ? Wallahu ghafuururrahiim’.

yakni, ‘…Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang-dada. Tidakkah kamu suka agar Allah mengampuni kamu ? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’ (Q.S. 24 / Al Nur : 23).
            Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai ayat ini, sebagai berikut: ‘Maafkanlah dosa-dosa orang lain. Maafkan pula berbagai keaniayaan dan kedegilan mereka.
            Apakah engkau tak hendak Allah Taala pun mengampuni dosa-dosamu ?
            Wallahu ghafuururrahiim’., dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’
            Tak ’ada seorangpun yang tak ingin mendapat maghfirah Ilahi.
            Dan insan yang beriman kepada Allah itulah yang paling mendambakan agar dosa-dosanya diampuni.
            Dan Allah Taala menyatakan, bahwa jika hal ini yang engkau inginkan, terapkanlah sikap ghafur, memaafkan dan tumbuh-kembangkanlah sikap simpati dengan sebaik-baiknya.
            Selanjutnya, berikut ini adalah berbagai Hadith yang mengingatkan lebih lanjut mengenai pentingnya topic bahasan [ber-‘…yashiluuna maa amarallahu bihi ayyuu shala…, atau menghubungkan yang Allah telah perintahkan hal itu supaya dihubungkan] ini.
            (1) Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang menginginkan rezekinya lapang, umurnya panjang, dan handai-taulannya senantiasa berbicara baik tentang dirinya, peliharalah tali hubungan silaturahmi.’
            (2) Amr bin Shuaib meriwayatkan berdasarkan penuturan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak menyayangi yang muda dan tidak juga memuliakan yang tua, bukanlah dari umatku.’
            (3) Abdullah bin Masood meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Segala makhluk adalah keluarga besar Allah Taala; dan Allah sangat mencintai mereka yang memelihara dan memenuhi keperluan keluarganya dengan baik.'
            (4) Abdullah bin Amr meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah Al Rahman akan mengasihani mereka yang bersifat pengasih. Maka berpengasihlah engkau di muka bumi, maka Allah Taala di langit pun akan mengasihimu.’
            (5) Hadhrat Jabir r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah akan senantiasa akan melindungi dan mengasihi serta mengaruniai ‘surga al-Jannah-Nya bagi mereka yang memiliki 3 (tiga) sifat, ialah: Bersimpati kepada yang lemah. Mencintai ibu-bapaknya. Dan memperlakukan pembantunya dengan baik.’
            (6) Hadhrat ‘Aishah r.ha. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah Taala itu bersifat halus; dan Dia memberi pahala bagi mereka yang bersifat halus. Tidak kepada mereka yang kasar; dan Allah tidak memberi pahala bagi sifat lainnya sebagaimana kepada sifat halus ini.’
            (7) Hadhrat ‘Aishah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Manakala kehalusan ditambahkan kepada sesuatu, maka akan mempereloknya. Dan jika dihilangkan, akan memperburuknya.’
            (8) Ibnu Masood meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Maukah aku sampaikan tentang mereka yang akan dijauhkan dari api Jahannam ?
            Ialah bagi mereka yang menjaga hablum minannas, yang bersifat pemurah, dan baik budi pekertinya.’
            Maka dengan ini saya mohon perhatian khas segenap anggota Pengurus Jama’at agar mereka pun memiliki berbagai sifat akhlak fadillah dan simpati sedemikian rupa [sebagaimana yang dinasehatkan di dalam berbagai Hadith tersebut], utamanya lagi para anggota Pengurus Pusat.
            Malah, harus menjadi sifat baik setiap orang Ahmadi. Tetapi khususnya para anggota Pengurus Jama’at hendaknya jangan pernah merasa jemu atau jengkel melayani mereka yang suka banyak mengusulkan sesuatu, atau ‘datang ke kantor, atau menghubungi kantor.
            Melainkan terimalah mereka dengan lapang dada.
            Hendaklah senantiasa diingat, bahwa jangan ada seorang pun pengkhidmat Jama’at yang tidak ramah dan tak simpatik apapun situasinya.
            Jangan terpengaruh oleh situasi apapun, yang menimbulkan citra tidak ramah, meskipun hanya samar-samar.
            Melainkan, berusahalah untuk bersikap mau membantu, dan berbicaralah dengan sehalus mungkin.’
            Selanjutnya, (9) Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Harta benda tak akan menjadi berkurang disebabkan banyak bersedekah. Allah Taala akan memuliakan mereka yang memaafkan orang lain. Dan tak akan menjadi rendah derajat mereka yang memaafkan kesalahan orang lain.’
            (10) Hadhrat Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Janganlah saling membenci, saling mengumpat, ataupun saling meniadakan. Melainkan, jalanilah hidup sebagai abdi Allah yang haqiqi. Adalah haram bagi seorang Muslim yang tak mau berbicara dengan saudaranya lebih dari tiga hari, dan memutuskan tali silaturakhmi dengannya.’
            (11) Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Janganlah saling mendendam; jangan menaikkan harga sedemikian rupa hingga merugikan orang lain, jangan saling berkhianat, dan jangan saling menggunting.’
            Melainkan, jadilah para hamba Allah haqiqi dan berikhwan satu sama lain.’
            Seorang Muslim tidak akan menindas ‘sesama saudaranya, tidak mendendam, tidak merendahkan atau menghinanya.’
             Kemudian sambil menunjuk dada,  Hadhrat Rasulullah Saw bersabda hingga tiga kali: ‘Taqwa ada di dalam [qalbu] ini.’
            Adalah sudah cukup menunjukkan keburukan orang yang memandang sebelah mata ‘sesama saudara Muslimnya.
            Kehidupan, harta benda  dan kehormatan setiap orang Muslim adalah sakral’ bagi setiap Muslim lainnya.’
            (12) Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah Swt akan berseru pada Hari Kebangkitan: ‘Mana itu mereka yang saling mengasihi semata-mata demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku !
            Sekarang ini tak ‘ada peneduh selain dari Peneduh-Ku. Aku akan memberikan Pelindung dari rahimiyyat Peneduh-Ku.’
            Semoga kita dapat meningkatkan silih-asih dan sabar satu sama lain dan dapat menjadi Jamaah sebagaimana yang dikehendaki oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sesuai yang disabdakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.
            Dan semoga pula Jamaat Ahmadiyah dapat menjadi penjamin perdamaian dunia.            Semoga kaum Muslimin dapat menerima Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan memahami pentingnya silih-asih.            Semoga para pemimpin kaum Muslimin dapat menghentikan penindasan mereka terhadap rakyat dan berbuat adil terhadap mereka, alih-alih diperalat oleh tangan-tangan mereka yang mementingkan diri sendiri, sebagaimana yang dirasakan oleh rakyat mereka.
            Semoga Allah Taala segera menghilangkan dunia pada umumnya, dan kaum Muslimin pada khususnya dari cengkeraman kaum extremist di beberapa negara Muslim yang mengerikan; sehingga kita semua dapat menyebar-luaskan keindahan ajaran Islam ke seluruh dunia dengan sebaik-baiknya dan dengan kemampuan yang lebih besar.
            Semoga Allah Taala memberi taufik kepada kita untuk itu.
            Selanjutnya saya umumkan akan mengimami salat jenazah ghaib untuk [nyonya] Nasirah Salimah Raza di Jamaat Zion, USA yang telah meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 2013 yang lalu.
            Almarhumah adalah African-American Ahmadi yang lahir pada tahun 1927 di tengah-tengah keluarga Pendeta Kristen Baptist, tetapi tidak meminati ajaran Kristen.
            Maka kemudian beliau menerima Islam Ahmadiyah pada tahun 1949, lalu menikah dengan tuan Nasir Ali Raza pada tahun 1951.
            Almarhumah yang lama berkhidmat kepada Jama’at, dan menjadi Sadr Lajnah Wilayah beberapa kali ini rajin bertabligh, membagikan brosur dan juga buku-buku serta Al Quran Karim ke berbagai Perpustakaan, sehingga hasilnya ada lebih dari 50 (lima puluh) orang yang menerima kebenaran Islam Ahmadiyah.
            Wanita periang ini sangat disukai dan sering dikunjungi kaum wanita yang menganggapnya sebagai ibu mereka sendiri.
            Almarhumah sangat mencintai Islam. Membimbing para pemudi mengenai pentingnya ber-Pardah dan tarbiyat ajaran Islam lainnya, serta bagaimana cara bersikap terhadap adat kebiasaan masyarakat Barat yang buruk.
            Beliau rajin ber-Tabligh kepada ibunda selama bertahun-tahun hingga baiat menerima Islam Ahmadiyah pada usia 85 tahun yang sangat membahagiakannya.
            Almarhumah Nasirah Salimah yang adalah pengkhidmat efisien dan sangat cinta Khilafat serta Jama’at ini sempat bermulaqat dengan saya [di USA] pada tahun lalu.
            Semoga Allah Taala mengangkat derajat maqom almarhumah yang meninggalkan 9 orang anak dan 21 cucu ini ke dalam ‘surga al-Jannah-Nya.
            Dan semoga pula mereka tetap dalam keshalihan dan menjadi penerima doa-doa almarhumah. Amin !
oooOOOooo
MA/LA/20130307

Tidak ada komentar:

Posting Komentar