Kamis, 28 Februari 2013

Khutbah Huzur 22 Februari 2013


Hadhrat Muslih Mau’ud r.a.
Sang Putra Yang Dijanjikan:
Khutbah Jumah Beliau Mengenai Yaqin Kepada Allah dan Doa-doa
Ikhtisar Khutbah Jumah Hadhrat Khalifatul Masih V Atba
22 February 2013 di Masjid Baitul Futuh, London


               
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)
      Terbersit di dalam pikiran saya, untuk menyampaikan Khutbah pada hari ini mengenai nubuatan tentang Muslih Mau’ud.
            Dan saya pun merasa, sebagaimana biasa, kita menyajikan nubuatan tersebut dan berbagai macam keberhasilan beliau r.a..
            Banyak ragam ilmu, pengetahuan intellect dan hikmah karunia Allah Taala kepada Hadhrat Muslih Mau’ud yang dapat kita saksikan di dalam berbagai Pidato, Dars dan Khutbah beliau r.a., bahkan sebelum beliau memangku jabatan Khilafat.
            Berbagai macam penjelasan beliau sarat dengan ilmu rohani.
            23 Jilid berbagai Pidato beliau telah diterbitkan dengan judul ‘Anwarul Ulum’ yang tiap jilidnya terdiri dari 600 halaman. Dan serial Jilid berikutnya masih terus diterbitkan.
            Begitu pula berbagai Khutbah Jumah beliau telah diterbitkan dalam 24 Jilid meskipun baru mencapai hingga periode tahun 1943. Dan masih terus diterbitkan.
            Tiap Jilidnya itu pun terdiri dari 600 halaman lebih.
            Yayasan Fazli Umar telah dibentuk untuk mengumpulkan semua karya beliau tersebut. Yakni, mereka ini pun menterjemahkan Pidato, Karangan bebas beliau, dlsb; yang sangat boleh jadi, juga dalam Bahasa Inggris, dan berbagai Bahasa lainnya, terutama dalam Bahasa Arab.
            Para mahasiswa berbagai Jamiah Ahmadiyah menterjemahkan sebagian dari karya beliau r.a. tersebut ketika mereka menyusun Thesis setelah lulus tingkat Syahid.
            Walhasil, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. telah mewariskan kepada kita suatu Khazanah besar dari kehidupan beliau, utamanya karya selama 52 tahun memangku jabatan Khilafat.
            Mereka yang sudah membeli beberapa Jilid karya beliau tersebut boleh jadi belum sempat membacanya dari halaman pertama hingga halaman terakhir.            Sementara kaum Ahmadi baru ataupun generasi muda keturunan tak dapat membaca karya aslinya dalam Bahasa Urdu. Sehingga mereka pun tak dapat menangkap gaya bahasa beliau r.a..
            Bahkan mereka yang seumur atau lebih tua dari saya dan Ahmadi keturunan belum tentu pula dapat mendalaminya.
            Yakni, kita baru dapat menghargai sepenuhnya keluasan ilmu beliau dan Karunia khas Ilahi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya, jika kita sungguh-sungguh telah membaca berbagai karya tulis beliau tersebut.
            Di zaman Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. itu belum ada fasilitas audio-video. Hanya pada beberapa tahun terakhirnya saja (1964-65) beberapa rekaman sempat dilakukan.
            Namun, seiring dengan berlalunya waktu, kwalitas rekaman tersebut pun berkurang, sehingga tak lagi menangkap nuansa kharismatik rohaniahnya.
            Maka syukur alhamdulillah, berkat pengarsipan berbagai karya tulis, dan juga berbagai Pidato beliau itu, dapat diperoleh ‘sedemikian banyak’.
            Maksud ‘sedemikian banyak’ di sini, karena pada waktu itu, proses transkripsi tersebut dilakukan dengan tulisan tangan. Sehingga boleh jadi ada beberapa perkara yang tak sempat tertuliskan.
            Dan pada hari ini saya memutuskan akan menyampaikan Khutbah yang utamanya mengutip perkataan Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. mengenai ‘Kiat Berdoa dan yaqin kepada Allah Taala, Pemilik segala kekuatan’.
            Saya memilihkan Khutbah Jumah beliau ini karena jika kita ingin memperoleh berbagai hasil [doa] yang istimewa, maka kita perlu mendalami topic bahasan Khutbah ini, kemudian mempraktekkannya:
            ‘Aku terus menerus diingatkan oleh beberapa sahabi agar berdoa. Dan juga menerima beberapa notes dan surat dari beberapa sahabi lainnya yang menyarankan agar ada segolongan Jama’at ini yang [khusus] berdoa untuk melenyapkan berbagai kemudharatan yang tengah terjadi di dunia.
            Namun, [menurut pendapatku], doa dari suatu golongan saja tidaklah cukup.
            Sebab, yang diperlukan adalah adanya perobahan di dalam pola-pikir kaum pria, kaum wanita, dan juga anak-anak mengenai kiat berdoa.
            Perobahan pertama dan utama pola-pikir tersebut adalah tertanamnya keyakinan makbuliyat doa.
            Sebab, doa orang yang tak yaqin tak akan makbul.
            Boleh jadi adakalanya doa orang yang seperti itu terkabulkan juga. Akan tetapi hal tersebut hanya sebagai rahmaniyyat Ilahi agar timbul keyaqinan di dalam qalbu manusia.
            Sebab, kaidah yang benar agar doa menjadi makbul adalah yaqin kepada Allah Taala, bahwa Dia akan mendengarnya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam  Al Qur’an Karim: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza da’aahu…….’

yakni, ‘Atau, siapakah yang mengabulkan doa orang yang sengsara apabila ia berdoa kepada-Nya..…’ (QS. 27 / Al Naml : 63).
            Dan Allah telah menyatakan, bahwa hanya Dia sajalah yang mendengar.
            Kata ‘mudzhthar’ (atau orang yang merana sengsara) di dalam Bahasa Arab berkonotasi kepada orang yang tertekan dari empat penjuru ‘angin hingga terdorong ke suatu arah.
            Atau, ia berjalan ke suatu arah setelah mendapatkan kebuntuan di empat jurusan itu.
            Yakni, ia melihat jahanam di sekelilingnya. Ketika ia melihat ke kanan, ada ‘naraka’ di sana. Melihat ke kiri, api-lah di situ. Melihat ke belakang, jahanam tengah mengancam. Melihat ke bawah, api menggelegak. Dan ketika melihat ke atas pun api membumbung.
            Hanya ada satu arah yang tersisa, yakni Allah Taala saja. Dan ia dapat menangkap celah ini. Sedangkan ke ‘arah lainnya hanya api di atas api.
            Ia melihat hanya ada satu arah yang dapat menenteramkannya.
            Maka tuan-tuan dapat memahami pentingnya keyaqinan dalam kaitan dengan istilah ‘mudzhthar’ ini.
            Yakni, ‘mudzhthar’ (atau orang yang menderita kesengsaraan) tidaklah sesederhana mereka yang hatinya sedang gelisah. Sebab, mereka ini dapat saja melangkah ke satu jurusan yang tidak menjaminnya akan memberi ketenteraman. Malah, menyediakan marabahaya yang tak terhindarkan
            Jadi, hanya kegelisahan hati tak berkonotasi kepada kondisi yang sengsara.
            Keadaan ‘mudzhthar’ hanya merujuk kepada orang yang tak dapat lagi melihat adanya najat keselamatan di empat jurusan, melainkan hanya di satu tempat saja.
            Yakni, tidak hanya melihat api di empat jurusan, melainkan juga mengindikasikan, bahwa ia melihat adanya ketenteraman di suatu tempat yang dijamin tak ‘ada api di dalamnya.
            Doa-doa yang dipanjatkan dalam kondisi ‘mudzhthar’ seperti itulah yang mendapat kemakbulan dari Allah Taala.
            Yakni, ia yaqin sepenuhnya, tak ‘ada najat keselamatan selain dengan Allah Taala.
            Hadhrat Rasulullah Saw menggambarkan keadaan ‘mudzhthar’ ini dengan perkataan [doa] beliau seperti ini: [Innal fadzul illaa manja’a wa laa manjaha minka illa ilaik], yakni,  ‘O Allah, tak ‘ada lagi tempat berlindung dari azab dan cobaan-Mu selain dengan cara menjauhi semua cara lain, kemudian berta’aluq sepenuhnya ke dalam Perlindungan Engkau.’
            Inilah kondisi ‘mudzhthar’ sebagaimana yang Allah Taala nyatakan di dalam Al Qur’an Karim: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza da’aahu…….’.
            Jadi, kata ‘mudzhthar’ di sini menekankan kepada doa orang yang tidak merujuk maupun menyeru siapapun selain kepada Allah Swt sebagai Pelindungnya.             Inilah yang diindikasikan oleh ayat Al Quran tersebut mengenai kondisi ‘mudzhthar’ itu.’
            [Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan lebih lanjut, bahwa]: ‘Namun, meskipun hanya Allah Taala saja yang dapat menghilangkan kenestapaan, tetapi insan pun dapat menolong sesamanya sesuai dengan kemampuan yang Dia telah karuniakan.
            Orang yang berpunya dapat membantu orang yang sedang membutuhkan. Pendek kata, banyak cara untuk menolong ‘sesama yang sedang kesusahan.
            Banyak kalangan yang dapat menolong orang yang dirundung berbagai kesengsaraan.
            Tetapi Allah Taala menyatakan: ‘Ammay-yujibul mudzhtharra idza da’aahu…….’; yakni, ‘Atau, siapakah yang mengabulkan doa orang yang sengsara apabila ia berdoa kepada-Nya..…’.
            Maksudnya, mudzhthar’ (atau orang yang merana) di sini tidak harus bersyarat sengsara segala-galanya. Melainkan, boleh jadi menderita terkena bencana kelaparan, kekurangan sandang, kekurangan suplai air bersih (PAM) ataupun kekurangan tenaga untuk mengangkut beban.
            Yakni, apapun bentuk penderitaannya, Wujud yang dapat memenuhi segala kebutuhannya itu  hanyalah Allah Swt saja.’
            Pendek kata, ada ribuan jenis kebutuhan manusia yang bahkan seorang Raja pun tak dapat menolongnya.
            Contohnya: Jika ia sedang berjalan di hutan tiba-tiba dihadang seekor binatang buas, apakah seorang Raja yang berkuasa dapat menyelamatkannya seketika ? Bahkan meskipun orang itu anak seorang Raja ?     Maka pada situasi seperti itu hanya Allah Taala sajalah yang dapat memberikan pertolongan.
            Jadi, sebelum orang itu yaqin sepenuhnya bahwa Allah Taala dapat menolong pada situasi apapun, ia tak dapat disebut sebagai ‘mudzhthar’.
            [Huzur Atba menambahkan: ‘Khutbah Jumah beliau r.a. ini disampaikan ketika Inggris masih berkuasa di Hindustan.
            Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. melanjutkan]: ‘Pemerintah Inggris pun tak sanggup merubah orang yang pengecut di Hindustan yang dibawah kekuasaannya, menjadi para pemberani.
            Sehingga mereka pun tak direkrut dalam ketentaraan.
            Sedangkan di antara mereka yang berhasil membina ta’aluq billah haqiqi dengan Allah Taala, yang tadinya sangat pengecut dapat menjadi gagah berani.
            Suatu bangsa yang semula kacau-balau, dapat menjadi bangsa yang tertib.
            Manakala Allah Taala telah mengaruniai kemajuan kepada suatu kaum, maka nasib mereka pun berubah. Qalbu mereka berubah, dan mereka pun menjadi suatu Kaum yang kuat, yang mencengangkan dunia.
            Begitulah situasi yang terjadi di Arabia yang tak memiliki system administrasi pemerintahan yang layak.  Melainkan hanya terdiri dari berbagai kelompok Kesukuan yang berseteru. Tak ‘ada persatuan. Tak ‘ada kekuatan.
            Dan Hadhrat Rasulullah Saw bangkit dari antara bangsa yang seperti itu. Dan hanya sedikit saja orang yang mau menerima pendakwaan beliau.
            Boleh jadi hanya sekitar seratus orang saja yang menerima kebenaran beliau Saw selama periode kehidupan di Mekkah itu.
            Kaum Mekkah dipandang rendah dari segi duniawi [oleh bangsa lain], dan mereka yang menjadi Muslim, lebih dihinakan lagi oleh ‘sesama kaum Mekkah lainnya.
            Akan tetapi betapa Allah Taala kemudian merubah mereka menjadi suatu Kaum yang pemberani dan berdisiplin !
            Padahal, bangsa Arab di Mekkah itu tidak suka mendengar ataupun itaat kepada seruan orang lain.
            [Huzur Atba menambahkan: ‘Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. kemudian menyampaikan suatu kisah yang panjang untuk menggambarkan inqillabi haqiqi yang terjadi di antara Kaum Mekkah tersebut berdasarkan Hadith yang diriwayatkan oleh salah seorang Sahabah Hadhrat Rasulullah Saw, yang ringkasannya sebagai berikut]:
            (1) ‘Hadhrat Abdullah bin Mas’ud r.a. sedang berjalan kaki untuk mendengarkan Khutbah Hadhrat Rasulullah Saw di masjid. Tiba-tiba mendengar suara beliau Saw yang menyerukan agar jamaah segera duduk.
            Maka seketika itu pula Abdullah bin Mas’ud duduk. Kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam masjid dengan cara beringsut-ingsut sambil duduk.
            Maka seorang sahabah lainnya bertanya: ‘Mengapa begitu ?!’
            Beliau r.a. menjawab: ‘Aku mendengar seruan Hadhrat Rasulullah Saw agar seluruh jamaah duduk. Dan aku pun ber-sami’na wa atha’na. Aku tak mau mengambil resiko pada akhir hayatku, bahwa aku tak taat kepada Hadhrat Rasulullah Saw !’.
            (2) Sedangkan di pihak lain, Kaum Madinah itu dikenal tak suka berkelahi karena mereka adalah masyarakat petani, suatu pekerjaan yang dianggap rendah oleh kebanyakan Bangsa Arab lainnya. Sehingga untuk diajak berkelahi pun mereka dianggap tak layak.
            Akan tetapi, setelah mereka  bergabung dengan Hadhrat Rasulullah Saw, terjadilah suatu inqillabi haqiqi yang akbari pada kaum Madinah tersebut.
            Sedemikian hebatnya revolusi rohani mereka itu, sehingga pada Perang Badar, terhadap penyerangan pasukan besar dan terlatih kaum Makkah, lasykar Madinah yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan seadanya, dapat memperlihatkan keberanian mereka yang luar biasa.
            Hadhrat Abdur Rahman bin Auf r.a. [muhajirin Mekkah], seorang perwira perang yang tangguh menyatakan: ‘Seorang perwira yang mahir hanya dapat bertempur dengan baik apabila ia dikelilingi oleh sejumlah lasykar perang yang juga dapat melindunginya.
            Inilah mengapa sebabnya perwira unggulan selalu ditempatkan di tengah-tengah lasykar perangnya agar senantiasa terlindung.
            Pada Perang Badar itu, ketika aku melihat ke sekelilingku, hanya ada dua pemuda remaja berusia sekitar 15 tahunan dari Kaum Ansar [Madinah], yang dapat bergabung atas perkenan Hadhrat Rasulullah Saw setelah mereka bersikeras untuk itu.
            Maka hatiku pun menjadi kecut demi melihat mereka yang adalah berasal dari Kaum Madinah, yang sudah barang tentu tak pandai bertempur.
            Namun seketika itu pula pinggang kananku terasa disodok. Salah seorang pemuda belia itu bertanya sambil berbisik ke telingaku: ‘Mana itu Abu Jahal yang sudah sekian lama menganiaya Hadhrat Rasulullah Saw ? Agar aku dapat membalasnya !’
            Belum lagi aku menjawab, pinggang kiriku yang kemudian terasa ada yang menyodok. Pemuda remaja lainnya bertanya hal yang sama, bahwa ia pun akan membalasnya.
            Maka akupun menunjukkan posisi Abu Jahal yang tentu saja berada di tengah-tengah pasukannya yang tangguh, ditambah lagi dengan 2 (dua) orang jendralnya yang bengis mengawal dengan pedang terhunus.
            Namun, belum lagi aku menurunkan tanganku, dua orang pemuda itu sudah melesat cepat ke sasaran, bak burung elang menyambar mangsanya dan berhasil melukai Abu Jahal.
            Bahkan meskipun salah seorang pemuda itu terputus tangannya ditebas pedang musuh, namun keduanya berhasil menjatuhkan Abu Jahal ke tanah dan mendapat luka parah !
            Begitulah, dua pemuda belia dari suatu Kaum yang sebelumnya dianggap tak layak untuk diajak berkelahi, telah berhasil melaksanakan tugas yang luar biasa.      Yakni, mereka berhasil melukai sedemikian rupa seorang jendral perang yang dzalim seperti Abu Jahal; yang kemudian tewas terhina oleh dua orang pemuda yang tak berpengalaman.
            Maka diyakini, bahwa keberadaan daya quwat qudsiyah Hadhrat Rasulullah Saw-lah yang telah berhasil membuat Kaum Madinah menjadi pemberani dan tangguh bertempur.
            (3) Episode kisah lainnya menyiratkan sikap bangga yang salah di kalangan Bangsa Arab pada waktu itu ketika seorang pria yang bermaksud menikahi seorang wanita lalu memohon izin ayahnya untuk melihatnya terlebih dahulu.
            Namun si ayah wanita itu menolak.
            Maka pria itu pun menghadap kepada Hadhrat Rasulullah Saw untuk menceritakan perkaranya.
            Hadhrat Rasulullah Saw bersabda, bahwa sang ayah wanita tersebut telah berbuat keliru. Sebab, diperbolehkan untuk melihat terlebih dahulu wanita yang akan dinikahi.
            Maka pria itu pun kembali menghadap kepada sang ayah wanita itu untuk menyampaikan sabda Rasulullah Saw.
            Namun ia tak mempedulikannya disebabkan sikap bangganya yang salah. Ia tetap menolak pria itu untuk melihat anak perempuannya.
            Maka sang wanita yang mendengarkan seluruh perkara tersebut  segera keluar dari kamarnya dengan wajah yang tak-bercadar, kemudian mengingatkan ayahnya mengapa harus menolak sabda Hadhrat Rasulullah Saw yang membolehkan seorang pria untuk melihat terlebih dahulu wanita yang akan dinikahinya ?
            Kemudian wanita itupun memberitahu pria itu, bahwa dirinyalah yang ia ingin lihat.
            Maka pria itu menjawab: ‘Aku tidak sekedar ingin melihat-lihat. Melainkan, pertimbanganku kini adalah telah menyaksikan seorang wanita yang itaat kepada Allah dan Rasul-Nya !’
            Begitulah, betapa Allah Taala telah merubah qalbu Kaum Arab sehingga kemudian segala urusan bagi mereka adalah demi untuk memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
            Tak ‘ada pemerintahan duniawi yang mampu merubah qalbu. Melainkan hanya Allah Swt saja.
            Para pengecut menjadi pemberani atas perintah Allah. Begitupun para pemberani menjadi kecut atas perintah-Nya.
            Para nestapa menjadi para pemberi atas perintah Allah. Dan yang berpunya menjadi papa atas perintah-Nya juga.
            Mereka yang awam menjadi berpengetahuan atas kehendak Allah Taala. Dan mereka yang ulama menjadi awam atas perintah Allah Swt.
            Jika Allah sudah ingin membinasakan suatu bangsa, kaum ulama mereka menjadi awam; yang pemberani menjadi pengecut; yang berpunya menjadi papa; dan yang berkuasa menjadi lemah.
            Akan tetapi sebaliknya, jika Allah Taala sudah berkehendak untuk membangkitkan suatu kaum, maka mereka yang awam menjadi berilmu; yang papa menjadi pemberi; dan yang dungu menjadi bijak-bestari.
            Banyak contoh mengenai hal ini yang dapat kita saksikan dalam kehidupan; termasuk juga di kalangan Kaum Ahmadi.
            Seorang awam menjadi Ahmadi dengan ikhlas hati. Maka setelah ia menjadi orang Ahmadi yang haqiqi, dalil-dalilnya pun menjadi ampuh, sehingga beberapa Maulwi besar pun menjadi gentar bersoal-jawab dengannya, dan berusaha menghindar.
            Kita pun menyaksikan beberapa orang ulama yang masuk Jama’at tampak awam ilmu agamanya sebagaimana sebelum ia menjadi orang Ahmadi disebabkan tidak sepenuhnya ikhlas terhadap Ahmadiyah.
            Hal ini menunjukkan, bahwa ilmu kita bukanlah karena kemampuan pribadi, melainkan karunia Allah Taala.
            Keberanian kita bukanlah pribadi, melainkan pemberian Allah Taala. Pengorbanan kita bukanlah kemampuan pribadi, melainkan Allah Swt-lah yang memberi taufik untuk itu.
            Jika bukan Allah Taala yang mengaruniai ilmu; jika bukan Allah Taala yang mengaruniai keberanian itu, maka ta’aluq billah berkat keikhlasan sempurna macam mana lagi yang diperoleh ?
            Boleh jadi berkat kebiasaan, kerja keras dan ikhtiar masing-masing pribadi.
            Yakni, kita menyaksikan, meskipun orang-orang duniawi awam, namun mereka memiliki keikhlasan di hatinya.’
            [Menjelaskan hal ini, Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. menyampaikan]:
            (1) ‘Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mempunyai seorang pembantu yang bernama Peera, yang tak terlalu cerdas.
            Orang tuanya menyerahkannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang telah memberikan pengobatan.
            Ketika sudah sembuh, ia biasa hanya duduk-duduk di ruang tamu. Atau sekali-kali belanja dan menyampaikan pesan.
            Tetapi ia tidak Salat.
            Maka Hadhrat Maulana Nurud-Din r.a. sering menasehatinya mengenai pentingnya mendirikan Salat.
            Maka suatu hari ia pun mulai mengerjakan Salat.
            Namun, ketika ia sedang Salat, ada seorang wanita ‘datang mengirim makanan dan memanggilnya agar mengambil.
            Karena tak menjawab, wanita itupun memanggilnya lagi dengan berteriak agar mengambil makanan itu. Jika tidak, ia akan ‘datang untuk [mengusik] memberitahukannya.
            Demi mendengar teriakan wanita itu – begitulah keadaan kesehatan jiwa Peera ini – ketika dalam posisi attahiyat akhir, ia pun menjawabnya dengan berteriak, bahwa ia akan segera ‘datang setelah Salatnya selesai……J !
            (2) [Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melanjutkan]: ‘Pada waktu itu pun belum ada Kantor Pos di Qadian, tak juga tersedia fasilitas komunikasi lainnya.
            Di masa banyak orang tiba di Stasiun K.A. Batala, Maulwi Muhammad Hussein Batalwi biasa berusaha agar mereka membatalkan lanjutan safar ke Qadian, dan mulai mempengaruhi agar menentang Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
            Suatu hari, ia pun menghentikan Peera dan berusaha mempengaruhinya.
            Namun Peera menjawab: ‘Aku ini memang tuna ilmu dan awam. Tetapi ada satu hal yang kini aku fahami, bahwa tuan Maulwi senantiasa berusaha untuk membatalkan orang bersafar ke Qadian. Dan bertahun-tahun lamanya aku bertugas mengirim telegram beliau dlsb, dan menyaksikan tuan Maulwi berusaha mencegah orang agar jangan pergi ke Qadian. Tetapi tak ‘ada yang mempedulikan.
            Sebaliknya dengan ‘Mirza sahib’ yang tetap berada di Qadian, namun  orang terus menerus tertarik untuk ‘datang menemui beliau.
            Tentulah ada suatu kebenaran di dalamnya !’
            Begitulah seorang insan yang tak sepenuhnya memahami kaidah Salat, dapat menyanggah dan memberi jawaban yang telak terhadap [seorang ulama besar seperti] Maulwi Muhammad Hussein Batalwi.
            Orang yang memiliki ta’aluq billah yang haqiqi dikaruniai ilmu yang mengagumkan oleh Allah Taala, karena Dia itu bersifat memperbaiki segala sesuatu.
            Yakni, jika ada sesuatu kekurangan, maka Allah Taala pun akan mencukupinya. Jika kurang berhikmah, Allah akan mengaruniainya. Jika sebelumnya bersifat pengecut, Dia akan menjadikannya pemberani. Jika ada kepapaan, Allah Swt akan mencukupinya. Jika ada kekurangan dalam kesehatan, Allah Swt akan membuatnya prima. Jika kurang dihormati, Allah Taala akan memuliakannya; dan jika kekurangan harta benda, Dia pun akan mencukupinya.
            Pendek kata, Allah Swt adalah pemilik segala Khazanah, yang akan Dia berikan kepada para hamba-Nya yang haqiqi dengan cara yang mengherankan.’
            (1) ‘Suatu hari, seorang Pendeta Amerika yang terkenal, ‘datang berkunjung ke Qadian diiringi oleh beberapa Pendeta lainnya.
            Dr.Khalifa Rashiduddin sahib bertugas membawa berkeliling, yang pada waktu itu Qadian belum memiliki system pemerintahan desa yang efektif. Sehingga banyak sampah berserakan di jalan.
            Maka tuan Pendeta itupun mulai menyindir kebersihan Kampung ‘Al Masih yang baru’ ini.
            Dr.Rashiduddin sahib menjawab: ‘Bukankah tanah Hindustan ini masih berada di bawah pemerintahan ‘Al Masih yang pertama’ [Kerajaan British-India] ? Inilah contoh tingkat kebersihan mereka. Sedangkan pemerintahan ‘Al Masih yang baru’, belum lagi berdiri.’
            Sang Pendeta pun terdiam.
            Kemudian, ketika ia bertemu dengan diriku (Hadhrat Muslih Mau’ud r.a.), ia bertanya: ‘Apakah akidah Islam mengenai faham ‘reinkarnasi’ ?’
            Aku segera memahami arah pertanyaannya ini.
            Yakni, tuan Pendeta memaksudkan: Apakah keyakinan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebagai Al Masih berarti ruh Isa Al Masih Israili itu telah menitis ke dalam jiwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ?
            Bila demikian, berarti ini adalah faham ‘reinkarnasi’ yang ditolak oleh Al Qur’an Karim.
            Maka aku menjawab: ‘Sesungguhnya kami meyakini beliau sebagai Al Masih Yang Dijanjikan adalah karena keserupaan sifat-sifatnya dengan Al Masih Israili. Bukan secara ragawi.’
            Kemudian pertanyaannya yang kedua adalah mengenai kelayakan lokasi kebangkitan Al Masih Yang Dijanjikan ini di Qadian. Mana mungkin dapat menyebar-luaskan missinya ke seluruh dunia ?’
            Aku menjawab: ‘Apakah tuan tak ingat kecilnya Kampung Nazareth [di Palestina] tempat kebangkitan ‘Al Masih yang pertama itu’ ? Bukankah hanya terdiri dari selusin rumah keluarga saja ?!
            Maka tuan Pendeta itupun terbungkam.
            (2) Suatu kali, ‘datang seorang Mullah besar menemuiku untuk mempertanyakan bukti kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
            Aku menjawab: ‘Semuanya ada di dalam Al Qur’an Karim.’
            Tetapi ia mengatakan ingin satu ayat yang qath’i;  meskipun aku sudah menjelaskan, bahwa setiap ayat Al Qur’an merupakan bukti kebenaran pendakwaan ‘Mirza sahib’. Sebab, ayat-ayat Al Quran Karim mendukung kebenaran para rasul Allah sedemikian rupa.
            Namun, ada beberapa ayat yang mudah difahami sebagai bukti kebenaran tentang hal itu; dan sebagian lain tidak, karena penjelasan tafsirnya tak mudah difahami oleh setiap orang.
            Maka tuan Mullah ini pun dipersilakan untuk memilih satu ayat yang diinginkannya.
            Dan ia memilih ayat ini:

yakni,   ‘Dan di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Yaumil Akhir;’ padahal mereka bukan orang-orang yang beriman.’ (QS. 2 / Al Baqarah : 9).
            Atas kuasa [firasat] Ilahi, aku sudah mengetahui bahwa ia akan merujuk kepada ayat ini, yang ternyata begitulah yang terjadi.
            Karena sebelumnya ia bersikeras, bahwa: Jika kaum Muslimin sudah melaksanakan agamanya dengan baik, mengapa perlu ada lagi nabi ?
            Maka aku pun merujukkan ayat itu  kepadanya, bahwa ayat Al Quran Karim tersebut membahas mengenai sebagian kaum Muslimin yang telah menjadi sesat. Lalu mengapakah Allah Taala tak mengutus seorang rasul untuk meng-ishlahnya ?
            Maka ia pun terdiam.
            Jadi, segala sesuatu berasal dari Allah Swt. Kemampuan manusiawi tak sanggup melakukan apapun.
            Inilah mengapa sebabnya perlu diingat, bahwa sebelum doa-doa dipanjatkan dalam kondisi ‘mudzhthar’ (atau menderita), yakni yaqin sepenuhnya bahwa hanya Allah Taala yang dapat memenuhi segala keperluan dunia, maka doa pun tak akan makbul.
            Yakni, sudah barang tentu ada di dunia ini suatu Kaum yang dapat memberi sesuai dengan karunia Allah Taala yang diberikan kepada mereka, tetapi mereka hanya dapat memberi pakaian.
            Ada pula suatu Kaum di dunia ini yang dapat memberi sesuai dengan apa yang Allah telah berikan kepada, tetapi mereka hanya dapat memberi tempat tinggal.
            Ada suatu Kaum di dunia ini yang dapat memberi banyak faedah kepada orang lain sesuai dengan karunia ilmu yang diberikan Allah Swt kepada mereka, namun  hanya dapat memberi pengobatan.
            Ada suatu Kaum di dunia ini yang diberi karunia ilmu oleh Allah Taala agar dapat mendampingi orang yang akan dituntut di muka pengadilan secara cuma-cuma, namun mengatakan hanya dapat memberikan bantuan hukum dengan gratis.
            Tetapi tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki kesanggupan untuk melakukan seluruh amal kebaikan tersebut.
            Tak ‘ada seorangpun manusia yang dapat merubah qalbu orang lain. Tak dapat mengubah perasaan mereka. Melainkan hanya Allah Swt sajalah yang berkuasa untuk mengubah qalbu dan perasaan manusia yang paling dalam.
            Yakni, sebelum doa-doa dipanjatkan dalam kondisi ‘mudzhthar’ (atau menderita); yakni, sungguh-sungguh berharap hanya kepada Allah; segala sesuatu demi lillahi Taala, dan yaqin sepenuhnya kepada Allah, maka doa pun tak makbul.
            Sebaliknya jika dipanjatkan dengan kondisi [mudzhthar] seperti itu, maka niscaya akan mencapai arasy-Ilahi, dan menjadi makbul.’
            Itulah beberapa ringkasan Khutbah Jumah Hadhrat Muslih Mau’ud r.a..
            Yakni, jika kita ingin merubah kondisi diri, maka kembalilah kepada Allah dengan cara tersebut.
            Semoga kita semua menjadi orang-orang yang berdoa dengan kiat seperti itu. Amin !
            Selanjutnya saya umumkan mmengenai telah meninggalnya tuan Azim yang sangat berkhidmat kepada orang lain di Bidang Dziafat Jamaat London.
            Salat janazahnya akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang.
            Almarhum meninggalkan beberapa orang anak yang masih sekolah.
            Semoga Allah Taala menjadi Pelindung bagi mereka. Amin !
oooOOOooo
MA/LA/20130227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar