Rabu, 27 Januari 2016

Khutbah Huzur, 22 Januari 2016


Hakikat Pengampunan

Oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad Atba Khalifatul Masih Al-Khamis, di Masjid Baitul Futuh, London UK.

Setelah mengucapkan "Assalamo-Alaikum wa Rahmatullah", tasyahud, syahadat, ata’awudz, dan tilawat Surah Al-Fatihah, Hazoor Aqdas Atba menilawatkan Surah Al-Shura ayat 41 ini:

yang artinya: “Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah.
Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang yang dhzalim.” (42:41) Ajaran Islam terhadap orang yang aniaya atau mencelakai orang lain, baik kecil maupun besar, tujuannya adalah untuk memperbaiki. Konsep penghukuman jelas ada, tetapi hal itu terkait dengan perintah untuk memberi pengampunan atau memaafkan sebagaimana telah dinyatakan di dalam ayatul-Quran ini. Tujuan utamanya adalah: Apapun hukuman yang dijatuhkan, haruslah menghasilkan suatu perbaikan pada diri si pelaku.
Yakni, karena aspek perbaikan adalah tujuan utamanya, maka sebelum menjatuhkan sesuatu hukuman, aspek memaafkan hendaknya juga dipertimbangkan. Jika tidak bisa, maka hukuman pun diputuskan. Pada pengampunan ada ganjaran pahala-Nya. Sedangkan hukuman yang melampaui batas, sebagaimana dinyatakan di dalam ayatul-Quran tersebut, adalah dhzalim
Konsep Pengampunan dan Penghukuman inilah yang mendasari keadilan bagi individual, komunal, maupun untuk di tingkat international. Jadi, tujuan utama penghukuman adalah demi untuk perbaikan dan peningkatan moral. Islam mengajarkan agar senantiasa diingat, bahwa penekanannya tidak hanya sebagai penghukuman, melainkan juga untuk perbaikan. Setiap penghukuman yang diputuskan haruslah setimpal dengan pelanggarannya; yang jika melampaui batas, akan mengundang murka Ilahi.
Contoh yang paling afdhol dalam hal ini dapat kita temukan di dalam uswatun-hasanah Hadhrat Rasulullah SAW. Yakni, manakala beliau merasakan akan adanya suatu perbaikan, maka beliau pun mengampuni, meskipun kepada musuh yang kejam. Bila si pelaku memperlihatkan dirinya sedikit saja dan menyatakan penyesalannya, Hadhrat Rasulullah SAW pun mengampuni mereka yang telah berlaku kejam terhadap diri beliau, keluarga maupun terhadap para Sahabah.
      Hazrat Zainab r.ha, putri Hadhrat Rasulullah SAW yang sedang hamil, mendapat serangan biadab ketika dalam perjalanan Hijrah [ke Madinah] hingga mengalami luka-luka dan keguguran, yang kemudian berakibat fatal. Si pelaku mendapat hukuman mati, tetapi berhasil melarikan diri. Lama kemudian ketika Hadhrat Rasulullah SAW kembali ke Madinah, si penjahat ini menghadap Hadhrat Rasulullah SAW; mengakui perbuatannya, dan melarikan diri karena ketakutan; tetapi kini datang menghadap setelah mendengar sikap mengampuni Hadhrat Rasulullah SAW. Ia mengakui kejahiliyahannya, juga mengakui kebenaran risalah kerasulan Hadhrat Rasulullah SAW untuk memberi petunjuk hidayah kepada manusia. Ia menyesali segala kejahatannya, yang untuk itu memohon pengampunan. Maka Hadhrat Rasulullah SAW pun mengampuninya, seraya berkata: Adalah karunia Allah atas dirimu hingga dapat menerima kebenaran Islam dan bertaubat dengan sepenuh hati. Ka’b bin Zuhayr menulis syair hina yang menyerang kemuliaan Kaum Muslimah. Maka ia pun dituntut hukuman. Namun, setelah peristiwa Fatah Mekkah, abangnya menyurat kepadanya agar ia segera memohon ampunan kepada Hadhrat Rasulullah SAW. Maka pada suatu Salatul Fajr ia datang menyelinap ke Masjid Nabawi dan ikut Salat berjamaah di antara para Sahabah.
Kemudian, sambil menyembunyikan wajahnya, dia ini berkata kepada Hadhrat Rasulullah SAW: Jika seandainya Ka’b bin Zuhayr datang bertaubat mengakui segala kesalahannya, apakah  tuan bersedia mengampuni ? Hadhrat Rasulullah SAW menjawab: Na’am [Okay] ! Maka ia pun berseru: Sesungguhnya hamba inilah Ka’b bin Zuhayr ! Maka seorang Sahabah pun bangkit seketika untuk membunuhnya. Namun dengan sikap sabarnya yang luar biasa, Hadhrat Rasulullah SAW memerintahkan agar membiarkannya, karena ia datang untuk meminta ampun. Terbukti kemudian, Ka’b bin Zuhayr ini menggubah syair puji-pujian kepada Baginda Hadhrat Rasulullah SAW, yang akhirnya menghadiahkan jubah beliau kepadanya. Masih banyak lagi berbagai peristiwa nyata di dalam kehidupan berberkat Hadhrat Rasulullah SAW yang mengampuni para musuh pribadi, musuh keluarga dekat, maupun musuh Islam, namun bertekad meng-inqilaab haqiqi diri mereka. Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan sesuatu hukuman manakala memang diperlukan. Jadi, hakikat perintah hukuman di dalam Islam adalah demi untuk perbaikan, bukan sebagai pembalasan. Hadhrat Masih Mau'ud a.s. telah menjelaskan tafsir ayat 41, Surah Al Shura tersebut di banyak tempat, sekira lebih dari 13 (tiga belas) buku dan selebaran. Di dalam kitab ‘Filsafat Ajaran Islam’, beliau menerangkan: ‘...Balasan bagi kejahatan adalah setimpal dengan keja hatan yang dilakukan. Akan tetapi, seseorang yang memaafkan -- dan pemberian maaf itu dilakukan pada kesempatan yang dapat mendatangkan perbaikan dan tidak menimbulkan keburukan; yakni tepat pada kondisi ‘awf (pemberian maaf), maka ia akan memperoleh pahala-Nya’
Jadi, ayat ini menunjukkan, bahwa Al Quran Karim tidak mengajarkan untuk setiap saat sedemikian peka terhadap keburukan. Tidak pula membiarkan bebas para penjahat dan pembuat onar. Melainkan, pertimbangkanlah dengan matang: Kapan harus menjatuhkan hukuman; dan kapan pula perlu memberi pengampunan. Buatlah keputusan yang terbaik bagi kedua-belah pihak; yakni: Bagi si Pelaku dan Masyarakat Umum. Sebab, kadangkala si pelaku dapat menjadi bertobat sebagai berkah dari pengampunannya. Akan tetapi boleh jadi juga dapat membuatnya lebih jahat lagi. Oleh karena itu, Allah Taala melarang kita untuk selalu memaafkan secara serampangan. Melainkan, pertimbangkanlah dengan seksama: Apakah Penghukuman ataukah Pengampunan yang paling tepat
Oleh karena itu, adalah afdhal untuk menempuh jalan tersebut dengan melihat kasus perkasusnya. Setengah orang sedemikian piciknya mendendam pihak yang menyakiti kakek buyutnya hingga turun temurun. Di lain pihak ada pula yang sedemikian naifnya memberikan Pengampunan hingga melampaui batas, dhoif dan tidak sesuai dengan martabat, kehormatan dan akhlak. Sikap mereka itu justru menodai sikap moral yang baik.Pengampunan dan kesabaran mereka justru membuat orang menjadi canggung. Inilah mengapa sebabnya Al Quranul Karim senantiasa mengaitkan kondisi waktu dan tempatnya yang tepat dalam menunjukkan akhlak. Tidak menyetujui sesuatu amalan yang tidak pada tempatnya.’ (Filsafat Ajaran Islam, pp. 62-63).
Mereka yang telah diampuni oleh Hadhrat Rasulullah SAW berhasil meng-inqilaab haqiqi dirinya, sehingga mereka yang tadinya musuh gerot Islam yang kejam, berubah menjadi para pengkhidmat yang sejati. Islam senantiasa meyakinkan kejelasan berbagai perintah syariatnya pada setiap zaman. Menekankan tindakan yang terbaik bagi si pelaku. Sebaliknya, para pengusung HAM sekarang ini memperjuangkan sedemikian keterlaluannya. Tak perduli seberat apapun kejahatannya, atas nama HAM semacam itu, mereka pun dibebaskan, sehingga mereka kehilangan rasa bersalahnya. Maka hal itu boleh jadi pula bagi para pembunuh bayaran atau berdarah-dingin lainnya. Padahal orang-orang semacam itu seharusnya dihukum mati, kecuali pihak keluarga korban memaafkannya. Akan tetapi sayang, Dunia Barat telah mengubah sistem Hukum mereka; telah menghapuskan Hukuman Mati atas nama HAM mereka itu. Namun, selain tak ada hasil perbaikannya, kejahatan pun semakin meningkat ! Sebaliknya, berbagai kepala negara Muslim, mereka gulingkan. Lalu, alih-alih membawa mereka ke Pengadilan, rakyat mereka sendiri menghabisinya dengan dukungan kekuatan negara lain.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menulis: ‘Tercantum di dalam Kitab Perjanjian Lama: Janganlah terlibat di dalam keburukan. Lalu ayat lainnya lebih keras lagi yang tak dapat diterapkan kecuali pada beberapa kondisi tertentu. Di lain pihak, Kitab Taurat pun menekankan kepada hukuman keras lainnya yang hanya menekankan kepada satu aspek saja. Yakni: [Balasan] untuk mata adalah mata. Telinga untuk telinga, dan gigi adalah gigi. Tak ada sedikit pun peluang untuk memaafkan dan pengampunan. Hal ini adalah fakta, bahwa ajaran Kitab tersebut hanya berfaedah untuk suatu zaman dan kaum tertentu saja. Sedangkan Al Quranul Karim telah menunjukkan kepada kita suatu jalan yang murni dari kedua ekstrim [pemaaf yang tiada berdasar dan kejam tiada ampunan] tersebut; serta sesuai dengan fitrah manusia. Contohnya adalah ayatul-Quran tersebut: …”Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah.”
Artinya, pembalasan atas sesuatu keburukan haruslah sesuai dengan takarannya. Akan tetapi jika ada peluang untuk bisa dimaafkan, lakukanlah, dengan syarat akan adanya suatu perbaikan, serta disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Orang yang beramal demikianlah yang akan mendapat ganjaran Ilahi.
Begitulah kemurnian ajaran ini, tak ada sedikitpun ke-ekstriman. Yakni, pembalasan yang setimpal diperkenankan; tetapi pemberian ampunan diberi pahala dengan syarat adanya perbaikan. Ini sangat sesuai dengan umumnya manusia yang berakal sehat untuk mempertimbangkan dan mengujinya. Sesuai dengan fitrah manusia yang mendambakan keadilan. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, pp. 111-112) Islam mengajarkan: Bila engkau mengampuni seseorang, maka tak boleh lagi ada rasa dendam.
Pada Perang Uhud, Siti Hindun istri Abu Sufyan melakukan suatu perbuatan yang biadab dengan membelah dada Hadhrat Hamzah r.a. pamanda Hadhrat Rasulullah SAW, lalu merogoh dan memakan jantung hatinya. Setelah Fatah Mekkah, Hindun ini dengan bercadar penutup wajah menyelinap ke dalam suatu majlis bersama Hadhrat Rasulullah SAW. Lalu menyatakan Baiat dan menjadi Muslimah. Namun kemudian suaranya dikenali oleh Hadhrat Rasulullah SAW. Maka beliau pun bertanya: Apakah engkau ini istri Abu Sufyan ? Ia menjawab: Ya, tetapi kini hamba telah menjadi seorang Muslimah dengan sepenuh ikhlas, dan memohon ampun atas segala dosa hamba di masa lampau.”
Maka Hadhrat Rasulullah SAW pun mengampuninya. Siti Hindun berhasil meng-inqilaab haqiqi dirinya. Ia mengirim dua ekor Kambing Guling kepada Hadhrat Rasulullah SAW disertai sebuah pesan, bahwa hewan ternaknya tak seberapa banyak, oleh karena itu hanya mengirim sedikit saja. Maka Hadhrat Rasulullah SAW pun mendoakannya, sehingga kemudian hewan ternaknya itu menjadi berkembang-biak sedemikian banyak. Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menulis: Pembalasan terhadap suatu keburukan haruslah setimpal dengan perbuatannya. Akan tetapi barangsiapa yang memaafkan yang akan mendatangkan perbaikan, tak ada sedikitpun ada dampak keburukannya; maka Allah Taala pun ridha dan memberikan ganjaran pahala-Nya. Jadi, berdasarkan petunjuk Al Quranul Karim: Tidak setiap situasi memerlukan hukuman. Tak pula pengampunan diperlukan pada setiap situasi. Melainkan, disesuaikan dengan waktu dan tempatnya Penghukuman atau Pengampunan haruslah dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempatnya. Tidak serampangan. Inilah yang dimaksudkan oleh Al Quran itu. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 105)
Maka Nizam Jama’at dan para pengurus hendaknya senantiasa ingat akan hal ini. Berbagai Bidang yang terkait hendaknya mencoba dan membuat beberapa rekomendasi dan keputusan setelah mempertimbangkan dan mendiskusikannya demi untuk menarik ridha Allah Taala. Mintalah pertolongan Allah dengan do'a dan usaha beberapa rekomendasi kepada Khalifah Waqt, sehingga si pesakitan maupun Nizam Jama’at tetap terlindung dari kemungkinan dampak buruknya.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menulis: Jika seseorang mencederai tuan, misalkan mematahkan gigi atau melukai mata tuan, pasal hukumannya adalah sesuai dengan itu. Akan tetapi, jika tuan memaafkan karena mempertimbangkan ada hikmahnya dan akan mendatangkan perbaikan, misalkan si pelaku bertobat tidak akan lagi melakukan perbuatan buruknya itu, maka pemaafan tersebut adalah afdhol, yang ganjaran pahalanya ada pada Allah Taala.
Jadi, ingatlah bahwa ayatul-Quran tersebut telah mencakup kedua-aspek yang terkait dengan Penghukuman dan Pengampunan yang disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Inilah kaidah bijaksana yang lugas tetapi terkait dengan kepatutan waktu dan tempatnya. Sesungguhnya, dengan kaidah bijaksana seperti itu pulalah kehidupan dunia ini berlangsung. Dapat beradaptasi dikala panas maupun dingin sesuai dengan waktu dan tempatnya. Sebagaimana anda ketahui, kita ini tak dapat mengikuti hanya satu macam diet makanan saja. Melainkan, ada alternatifnya yang disesuaikan dengan musimnya; sebagaimana kita berbusana yang cocok untuk di Musim Gugur, atau untuk di Musim Panas. Begitu pula dengan kondisi rohani kita yang memerlukan perubahan sesuai dengan waktu dan tempatnya. Ada saatnya perlu tindakan tegas yang apabila dibiarkan atau dimaafkan akan memperburuk situasi. Tetapi di saat lain, diperlukan kelembutan dan kebijaksanaan yang apabila memperlihatkan kekuasaan justru menunjukkan kurangnya rasa keadilan. Ringkasnya, selalu ada waktu dan tempatnya yang cocok untuk segala sesuatu. Maka orang yang tidak peduli terhadap pertimbangan aspek waktu dan tempat, adalah hewani atau tak beradab. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, pp. 105-106) Pada Musim Panas, berbusana di [Dunia Barat] sini khususnya kaum wanitanya, menjadi sedemikian minim. Sebaliknya di Musim Dingin mereka berbusana lengkap dengan baju [coat] hangatnya plus kerudung penutup kepala. Tetapi manakala Kaum Muslimah mengenakan kerudung penutup kepala yang sama di Musim Panas, mereka pun mengatakannya sebagai bertentangan. Bahkan sekarang ini pihak Pemerintah pun mulai ikut campur yang berujung tidak untuk sesuatu perbaikan, melainkan tak afdhal, tak pula adil. Perdana Menteri mengatakan sedang mempertimbangkan akan menindak kaum wanita yang berkerudung di tempat umum ataupun di tempat kerja. Walhasil, kaidah hukum duniawi sedang dibawa ke arah ekstrim yang akan menimbulkan gangguan dan keresahan masyarakat. Senyatanya, Islam menentang keras setiap keputusan yang menimbulkan gangguan dan keresahan umum. Sebaliknya sebagaimana telah dinyatakan: Keputusan hendaknya bertujuan untuk memperbaiki keadaan orang per orang.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: Al Quranul Karim tidak sembarangan memerintahkan pemaafan ataupun pengampunan yang tak bersyarat, yang akan merendahkan moral dan mengacaukan segala sesuatunya. Melainkan, pengampunan dapat diberikan jika akan mendatangkan berbagai perbaikan. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 108)
            Lagi, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: Pembalasan terhadap suatu keburukan haruslah setimpal dengan perbuatannya. Akan tetapi barangsiapa yang memaafkan sesuai dengan waktu dan tempatnya yang akan mendatangkan perbaikan; maka Allah Taala pun akan memberikan ganjaran pahala-Nya. Contoh [paradoxal]-nya adalah: Jika seorang pencuri dilepaskan begitu saja, tentulah ia akan semakin menjadi-jadi. Ia akan menjadi perampok. Maka sepatutnyalah ia harus dihukum. Lagi, bila salah satu dari 2 (dua) orang karyawan yang diberi peringatan atas pelanggarannya sudah cukup baginya untuk segera memperbaiki diri; maka tak perlu lagi dihukum keras. Akan tetapi, jika karyawan yang satunya lagi selalu membangkang atas kesalahannya, lalu diperlakukan sama, niscayalah ia akan menjadi lebih parah. Jadi, untuk dia harus dihukum.
            Sekarang ini tuan-tuan mempertanyakan: Manakah perintah syariat yang cocok ? Apakah sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam Al-Quran tersebut ataukah yang tercantum di dalam Bible itu ? Berdasarkan kaidah Pengampunan yang berprospek kepada perbaikan yang tiada bandingannya; itulah yang telah diikuti oleh masyarakat yang beradab.
Dinyatakan di situ: Setiap perkara hendaknya dilihat dulu dari berbagai segi pembuktiannya. Ampunilah jika memang akan berfaedah. Akan tetapi bila si pelaku cenderung akan menjadi lebih buruk dan jahat, ikutilah segera petunjuk: ‘Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya…
Demikianlah, kemurnian ajaran Islam lainnya, berdasarkan kaidah manfaat seperti itu; dan jelas, seterang cahaya di siang hari, di setiap zaman (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 109).
Selanjutnya Hazoor Aqdas Atba mengumumkan akan mengimami Salatul Janazah untuk Bilal Mahmood Sahib yang disyahidkan di Rabwah pada tanggal 11 Januari 2016 yang lalu oleh dua orang tak dikenal yang mengendarai sepeda motor, menembak almarhum ketika sedang berjalan menuju ke rumahnya di petang itu. Bilal Sahib yang adalah seorang Waqfe Nau kelahiran tahun 1989 tengah berkhidmat di Bidang Al Wasiyyat. Baru menikah pada bulan April 2015 yang lalu, istri almarhum ini sedang mengandung. Jadi, syahidin Bilal Sahib ini meninggalkan seorang istri yang segera akan melahirkan, seorang ibu dan abang. Semoga Allah Taala mengangkat derajat almarhum dan juga ketawaqalan bagi seluruh keluarganya. Amiin !

(transl.MAS/JLAW/26Jan2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar