Hakikat Pengampunan
Oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad Atba Khalifatul Masih
Al-Khamis, di Masjid Baitul Futuh, London UK.
Setelah mengucapkan
"Assalamo-Alaikum wa Rahmatullah", tasyahud, syahadat, ata’awudz, dan
tilawat Surah Al-Fatihah, Hazoor Aqdas Atba menilawatkan Surah Al-Shura ayat 41
ini:
yang artinya: “Dan pembalasan terhadap
suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan
memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah.
Sesungguhnya, Dia tidak menyukai
orang-orang yang dhzalim.” (42:41) Ajaran Islam terhadap orang yang aniaya atau
mencelakai orang lain, baik kecil maupun besar, tujuannya adalah untuk
memperbaiki. Konsep penghukuman jelas ada, tetapi hal itu terkait dengan
perintah untuk memberi pengampunan atau memaafkan sebagaimana telah dinyatakan
di dalam ayatul-Quran ini. Tujuan utamanya adalah: Apapun hukuman yang
dijatuhkan, haruslah menghasilkan suatu perbaikan pada diri si pelaku.
Yakni, karena aspek perbaikan adalah
tujuan utamanya, maka sebelum menjatuhkan sesuatu hukuman, aspek memaafkan
hendaknya juga dipertimbangkan. Jika tidak bisa, maka hukuman pun diputuskan.
Pada pengampunan ada ganjaran pahala-Nya. Sedangkan hukuman yang melampaui
batas, sebagaimana dinyatakan di dalam ayatul-Quran tersebut, adalah dhzalim
Konsep Pengampunan dan Penghukuman
inilah yang mendasari keadilan bagi individual, komunal, maupun untuk di
tingkat international. Jadi, tujuan utama penghukuman adalah demi untuk
perbaikan dan peningkatan moral. Islam mengajarkan agar senantiasa diingat,
bahwa penekanannya tidak hanya sebagai penghukuman, melainkan juga untuk
perbaikan. Setiap penghukuman yang diputuskan haruslah setimpal dengan
pelanggarannya; yang jika melampaui batas, akan mengundang murka Ilahi.
Contoh yang paling afdhol dalam hal ini
dapat kita temukan di dalam uswatun-hasanah Hadhrat Rasulullah SAW. Yakni,
manakala beliau merasakan akan adanya suatu perbaikan, maka beliau pun
mengampuni, meskipun kepada musuh yang kejam. Bila si pelaku memperlihatkan
dirinya sedikit saja dan menyatakan penyesalannya, Hadhrat Rasulullah SAW pun
mengampuni mereka yang telah berlaku kejam terhadap diri beliau, keluarga
maupun terhadap para Sahabah.
Hazrat Zainab r.ha, putri Hadhrat Rasulullah SAW yang sedang hamil, mendapat
serangan biadab ketika dalam perjalanan Hijrah [ke Madinah] hingga mengalami
luka-luka dan keguguran, yang kemudian berakibat fatal. Si pelaku mendapat
hukuman mati, tetapi berhasil melarikan diri. Lama kemudian ketika Hadhrat
Rasulullah SAW kembali ke Madinah, si penjahat ini menghadap Hadhrat Rasulullah
SAW; mengakui perbuatannya, dan melarikan diri karena ketakutan; tetapi kini
datang menghadap setelah mendengar sikap mengampuni Hadhrat Rasulullah SAW. Ia
mengakui kejahiliyahannya, juga mengakui kebenaran risalah kerasulan Hadhrat
Rasulullah SAW untuk memberi petunjuk hidayah kepada manusia. Ia menyesali
segala kejahatannya, yang untuk itu memohon pengampunan. Maka Hadhrat
Rasulullah SAW pun mengampuninya, seraya berkata: Adalah karunia Allah atas
dirimu hingga dapat menerima kebenaran Islam dan bertaubat dengan sepenuh hati.
Ka’b bin Zuhayr menulis syair hina yang menyerang kemuliaan Kaum Muslimah. Maka
ia pun dituntut hukuman. Namun, setelah peristiwa Fatah Mekkah, abangnya
menyurat kepadanya agar ia segera memohon ampunan kepada Hadhrat Rasulullah
SAW. Maka pada suatu Salatul Fajr ia datang menyelinap ke Masjid Nabawi dan
ikut Salat berjamaah di antara para Sahabah.
Kemudian, sambil menyembunyikan
wajahnya, dia ini berkata kepada Hadhrat Rasulullah SAW: Jika seandainya Ka’b
bin Zuhayr datang bertaubat mengakui segala kesalahannya, apakah tuan bersedia mengampuni ? Hadhrat Rasulullah
SAW menjawab: Na’am [Okay] ! Maka ia pun berseru: Sesungguhnya hamba inilah Ka’b
bin Zuhayr ! Maka seorang Sahabah pun bangkit seketika untuk membunuhnya. Namun
dengan sikap sabarnya yang luar biasa, Hadhrat Rasulullah SAW memerintahkan
agar membiarkannya, karena ia datang untuk meminta ampun. Terbukti kemudian, Ka’b
bin Zuhayr ini menggubah syair puji-pujian kepada Baginda Hadhrat Rasulullah
SAW, yang akhirnya menghadiahkan jubah beliau kepadanya. Masih banyak lagi
berbagai peristiwa nyata di dalam kehidupan berberkat Hadhrat Rasulullah SAW
yang mengampuni para musuh pribadi, musuh keluarga dekat, maupun musuh Islam,
namun bertekad meng-inqilaab haqiqi diri mereka. Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan
sesuatu hukuman manakala memang diperlukan. Jadi, hakikat perintah hukuman di
dalam Islam adalah demi untuk perbaikan, bukan sebagai pembalasan. Hadhrat
Masih Mau'ud a.s. telah menjelaskan tafsir ayat 41, Surah Al Shura tersebut di
banyak tempat, sekira lebih dari 13 (tiga belas) buku dan selebaran. Di dalam
kitab ‘Filsafat Ajaran Islam’, beliau menerangkan: ‘...Balasan bagi kejahatan
adalah setimpal dengan keja hatan yang dilakukan. Akan tetapi, seseorang yang
memaafkan -- dan pemberian maaf itu dilakukan pada kesempatan yang dapat
mendatangkan perbaikan dan tidak menimbulkan keburukan; yakni tepat pada
kondisi ‘awf (pemberian maaf), maka ia akan memperoleh pahala-Nya’
Jadi, ayat ini menunjukkan, bahwa Al
Quran Karim tidak mengajarkan untuk setiap saat sedemikian peka terhadap
keburukan. Tidak pula membiarkan bebas para penjahat dan pembuat onar.
Melainkan, pertimbangkanlah dengan matang: Kapan harus menjatuhkan hukuman; dan
kapan pula perlu memberi pengampunan. Buatlah keputusan yang terbaik bagi kedua-belah
pihak; yakni: Bagi si Pelaku dan Masyarakat Umum. Sebab, kadangkala si pelaku
dapat menjadi bertobat sebagai berkah dari pengampunannya. Akan tetapi boleh
jadi juga dapat membuatnya lebih jahat lagi. Oleh karena itu, Allah Taala
melarang kita untuk selalu memaafkan secara serampangan. Melainkan,
pertimbangkanlah dengan seksama: Apakah Penghukuman ataukah Pengampunan yang
paling tepat
Oleh karena itu, adalah afdhal untuk
menempuh jalan tersebut dengan melihat kasus perkasusnya. Setengah orang sedemikian
piciknya mendendam pihak yang menyakiti kakek buyutnya hingga turun temurun. Di
lain pihak ada pula yang sedemikian naifnya memberikan Pengampunan hingga
melampaui batas, dhoif dan tidak sesuai dengan martabat, kehormatan dan akhlak.
Sikap mereka itu justru menodai sikap moral yang baik.Pengampunan dan kesabaran
mereka justru membuat orang menjadi canggung. Inilah mengapa sebabnya Al
Quranul Karim senantiasa mengaitkan kondisi waktu dan tempatnya yang tepat
dalam menunjukkan akhlak. Tidak menyetujui sesuatu amalan yang tidak pada
tempatnya.’ (Filsafat Ajaran Islam, pp. 62-63).
Mereka yang telah diampuni oleh Hadhrat
Rasulullah SAW berhasil meng-inqilaab haqiqi dirinya, sehingga mereka yang
tadinya musuh gerot Islam yang kejam, berubah menjadi para pengkhidmat yang
sejati. Islam senantiasa meyakinkan kejelasan berbagai perintah syariatnya pada
setiap zaman. Menekankan tindakan yang terbaik bagi si pelaku. Sebaliknya, para
pengusung HAM sekarang ini memperjuangkan sedemikian keterlaluannya. Tak
perduli seberat apapun kejahatannya, atas nama HAM semacam itu, mereka pun
dibebaskan, sehingga mereka kehilangan rasa bersalahnya. Maka hal itu boleh
jadi pula bagi para pembunuh bayaran atau berdarah-dingin lainnya. Padahal
orang-orang semacam itu seharusnya dihukum mati, kecuali pihak keluarga korban
memaafkannya. Akan tetapi sayang, Dunia Barat telah mengubah sistem Hukum mereka;
telah menghapuskan Hukuman Mati atas nama HAM mereka itu. Namun, selain tak ada
hasil perbaikannya, kejahatan pun semakin meningkat ! Sebaliknya, berbagai
kepala negara Muslim, mereka gulingkan. Lalu, alih-alih membawa mereka ke
Pengadilan, rakyat mereka sendiri menghabisinya dengan dukungan kekuatan negara
lain.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menulis: ‘Tercantum
di dalam Kitab Perjanjian Lama: Janganlah terlibat di dalam keburukan. Lalu
ayat lainnya lebih keras lagi yang tak dapat diterapkan kecuali pada beberapa
kondisi tertentu. Di lain pihak, Kitab Taurat pun menekankan kepada hukuman
keras lainnya yang hanya menekankan kepada satu aspek saja. Yakni: [Balasan]
untuk mata adalah mata. Telinga untuk telinga, dan gigi adalah gigi. Tak ada
sedikit pun peluang untuk memaafkan dan pengampunan. Hal ini adalah fakta,
bahwa ajaran Kitab tersebut hanya berfaedah untuk suatu zaman dan kaum tertentu
saja. Sedangkan Al Quranul Karim telah menunjukkan kepada kita suatu jalan yang
murni dari kedua ekstrim [pemaaf yang tiada berdasar dan kejam tiada ampunan]
tersebut; serta sesuai dengan fitrah manusia. Contohnya adalah ayatul-Quran
tersebut: …”Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan
semisalnya, tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada
pada Allah.”
Artinya, pembalasan atas sesuatu keburukan haruslah
sesuai dengan takarannya. Akan tetapi jika ada peluang untuk bisa dimaafkan,
lakukanlah, dengan syarat akan adanya suatu perbaikan, serta disesuaikan dengan
waktu dan tempatnya. Orang yang beramal demikianlah yang akan mendapat ganjaran
Ilahi.
Begitulah kemurnian ajaran ini, tak ada
sedikitpun ke-ekstriman. Yakni, pembalasan yang setimpal diperkenankan; tetapi
pemberian ampunan diberi pahala dengan syarat adanya perbaikan. Ini sangat
sesuai dengan umumnya manusia yang berakal sehat untuk mempertimbangkan dan
mengujinya. Sesuai dengan fitrah manusia yang mendambakan keadilan. (Tafseer
Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, pp. 111-112) Islam mengajarkan: Bila engkau
mengampuni seseorang, maka tak boleh lagi ada rasa dendam.
Pada Perang Uhud, Siti Hindun istri Abu
Sufyan melakukan suatu perbuatan yang biadab dengan membelah dada Hadhrat
Hamzah r.a. pamanda Hadhrat Rasulullah SAW, lalu merogoh dan memakan jantung
hatinya. Setelah Fatah Mekkah, Hindun ini dengan bercadar penutup wajah
menyelinap ke dalam suatu majlis bersama Hadhrat Rasulullah SAW. Lalu
menyatakan Baiat dan menjadi Muslimah. Namun kemudian suaranya dikenali oleh
Hadhrat Rasulullah SAW. Maka beliau pun bertanya: Apakah engkau ini istri Abu
Sufyan ? Ia menjawab: Ya, tetapi kini hamba telah menjadi seorang Muslimah
dengan sepenuh ikhlas, dan memohon ampun atas segala dosa hamba di masa lampau.”
Maka Hadhrat Rasulullah SAW pun
mengampuninya. Siti Hindun berhasil meng-inqilaab haqiqi dirinya. Ia mengirim
dua ekor Kambing Guling kepada Hadhrat Rasulullah SAW disertai sebuah pesan,
bahwa hewan ternaknya tak seberapa banyak, oleh karena itu hanya mengirim
sedikit saja. Maka Hadhrat Rasulullah SAW pun mendoakannya, sehingga kemudian
hewan ternaknya itu menjadi berkembang-biak sedemikian banyak. Hadhrat Masih
Mau'ud a.s. menulis: Pembalasan terhadap suatu keburukan haruslah setimpal
dengan perbuatannya. Akan tetapi barangsiapa yang memaafkan yang akan
mendatangkan perbaikan, tak ada sedikitpun ada dampak keburukannya; maka Allah
Taala pun ridha dan memberikan ganjaran pahala-Nya. Jadi, berdasarkan petunjuk
Al Quranul Karim: Tidak setiap situasi memerlukan hukuman. Tak pula pengampunan
diperlukan pada setiap situasi. Melainkan, disesuaikan dengan waktu dan
tempatnya Penghukuman atau Pengampunan haruslah dilaksanakan sesuai dengan
waktu dan tempatnya. Tidak serampangan. Inilah yang dimaksudkan oleh Al Quran
itu. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 105)
Maka Nizam Jama’at dan para pengurus
hendaknya senantiasa ingat akan hal ini. Berbagai Bidang yang terkait hendaknya
mencoba dan membuat beberapa rekomendasi dan keputusan setelah mempertimbangkan
dan mendiskusikannya demi untuk menarik ridha Allah Taala. Mintalah pertolongan
Allah dengan do'a dan usaha beberapa rekomendasi kepada Khalifah Waqt, sehingga
si pesakitan maupun Nizam Jama’at tetap terlindung dari kemungkinan dampak
buruknya.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menulis: Jika seseorang
mencederai tuan, misalkan mematahkan gigi atau melukai mata tuan, pasal
hukumannya adalah sesuai dengan itu. Akan tetapi, jika tuan memaafkan karena
mempertimbangkan ada hikmahnya dan akan mendatangkan perbaikan, misalkan si
pelaku bertobat tidak akan lagi melakukan perbuatan buruknya itu, maka pemaafan
tersebut adalah afdhol, yang ganjaran pahalanya ada pada Allah Taala.
Jadi, ingatlah bahwa ayatul-Quran
tersebut telah mencakup kedua-aspek yang terkait dengan Penghukuman dan
Pengampunan yang disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Inilah kaidah
bijaksana yang lugas tetapi terkait dengan kepatutan waktu dan tempatnya.
Sesungguhnya, dengan kaidah bijaksana seperti itu pulalah kehidupan dunia ini
berlangsung. Dapat beradaptasi dikala panas maupun dingin sesuai dengan waktu
dan tempatnya. Sebagaimana anda ketahui, kita ini tak dapat mengikuti hanya
satu macam diet makanan saja. Melainkan, ada alternatifnya yang disesuaikan
dengan musimnya; sebagaimana kita berbusana yang cocok untuk di Musim Gugur,
atau untuk di Musim Panas. Begitu pula dengan kondisi rohani kita yang memerlukan perubahan sesuai dengan waktu
dan tempatnya. Ada saatnya perlu tindakan tegas yang apabila dibiarkan atau
dimaafkan akan memperburuk situasi. Tetapi di saat lain, diperlukan kelembutan
dan kebijaksanaan yang apabila memperlihatkan kekuasaan justru menunjukkan
kurangnya rasa keadilan. Ringkasnya, selalu ada waktu dan tempatnya yang cocok
untuk segala sesuatu. Maka orang yang tidak peduli terhadap pertimbangan aspek
waktu dan tempat, adalah hewani atau tak beradab. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud
a.s, Vol. 4, pp. 105-106) Pada Musim Panas, berbusana di [Dunia Barat] sini
khususnya kaum wanitanya, menjadi sedemikian minim. Sebaliknya di Musim Dingin
mereka berbusana lengkap dengan baju [coat] hangatnya plus kerudung penutup
kepala. Tetapi manakala Kaum Muslimah mengenakan kerudung penutup kepala yang
sama di Musim Panas, mereka pun mengatakannya sebagai bertentangan. Bahkan
sekarang ini pihak Pemerintah pun mulai ikut campur yang berujung tidak untuk
sesuatu perbaikan, melainkan tak afdhal, tak pula adil. Perdana Menteri
mengatakan sedang mempertimbangkan akan menindak kaum wanita yang berkerudung
di tempat umum ataupun di tempat kerja. Walhasil, kaidah hukum duniawi sedang
dibawa ke arah ekstrim yang akan menimbulkan gangguan dan keresahan masyarakat.
Senyatanya, Islam menentang keras setiap keputusan yang menimbulkan gangguan
dan keresahan umum. Sebaliknya sebagaimana telah dinyatakan: Keputusan
hendaknya bertujuan untuk memperbaiki keadaan orang per orang.
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: Al
Quranul Karim tidak sembarangan memerintahkan pemaafan ataupun pengampunan yang
tak bersyarat, yang akan merendahkan moral dan mengacaukan segala sesuatunya.
Melainkan, pengampunan dapat diberikan jika akan mendatangkan berbagai
perbaikan. (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 108)
Lagi, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda: Pembalasan terhadap suatu keburukan
haruslah setimpal dengan perbuatannya. Akan tetapi barangsiapa yang memaafkan
sesuai dengan waktu dan tempatnya yang akan mendatangkan perbaikan; maka Allah
Taala pun akan memberikan ganjaran pahala-Nya. Contoh [paradoxal]-nya adalah:
Jika seorang pencuri dilepaskan begitu saja, tentulah ia akan semakin
menjadi-jadi. Ia akan menjadi perampok. Maka sepatutnyalah ia harus dihukum.
Lagi, bila salah satu dari 2 (dua) orang karyawan yang diberi peringatan atas
pelanggarannya sudah cukup baginya untuk segera memperbaiki diri; maka tak
perlu lagi dihukum keras. Akan tetapi, jika karyawan yang satunya lagi selalu
membangkang atas kesalahannya, lalu diperlakukan sama, niscayalah ia akan
menjadi lebih parah. Jadi, untuk dia harus dihukum.
Sekarang ini tuan-tuan mempertanyakan: Manakah perintah syariat yang cocok ?
Apakah sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam Al-Quran tersebut ataukah
yang tercantum di dalam Bible itu ? Berdasarkan kaidah Pengampunan yang
berprospek kepada perbaikan yang tiada bandingannya; itulah yang telah diikuti
oleh masyarakat yang beradab.
Dinyatakan di situ: Setiap perkara
hendaknya dilihat dulu dari berbagai segi pembuktiannya. Ampunilah jika memang
akan berfaedah. Akan tetapi bila si pelaku cenderung akan menjadi lebih buruk
dan jahat, ikutilah segera petunjuk: ‘Dan pembalasan terhadap suatu keburukan
adalah keburukan semisalnya…
Demikianlah, kemurnian ajaran Islam lainnya, berdasarkan
kaidah manfaat seperti itu; dan jelas, seterang cahaya di siang hari, di setiap
zaman (Tafseer Hazrat Masih Mau'ud a.s, Vol. 4, p. 109).
Selanjutnya Hazoor Aqdas Atba
mengumumkan akan mengimami Salatul Janazah untuk Bilal Mahmood Sahib yang
disyahidkan di Rabwah pada tanggal 11 Januari 2016 yang lalu oleh dua orang tak
dikenal yang mengendarai sepeda motor, menembak almarhum ketika sedang berjalan
menuju ke rumahnya di petang itu. Bilal Sahib yang adalah seorang Waqfe Nau
kelahiran tahun 1989 tengah berkhidmat di Bidang Al Wasiyyat. Baru menikah pada
bulan April 2015 yang lalu, istri almarhum ini sedang mengandung. Jadi,
syahidin Bilal Sahib ini meninggalkan seorang istri yang segera akan
melahirkan, seorang ibu dan abang. Semoga Allah Taala mengangkat derajat
almarhum dan juga ketawaqalan bagi seluruh keluarganya. Amiin !
(transl.MAS/JLAW/26Jan2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar